IMF Kritik Skema 'Burden Sharing' Bank Indonesia dan Kemenkeu

Pembelian surat utang oleh BI berisiko ganggu independensi.

IMF Kritik Skema 'Burden Sharing' Bank Indonesia dan Kemenkeu
Shutterstock/Bumble Dee
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Dana Moneter Internasional (IMF) mengkritik kebijakan burden sharing di negara-negara berkembang selama pandemi Covid-19, seperti yang dilakukan antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan sebagai strategi pembiayaan APBN. 

Menurut IMF, kebijakan itu berisiko mengganggu stabilitas harga lantaran pembelian aset akan berpengaruh pada neraca bank sentral sendiri. BI misalnya, dapat kehilangan uang jika mereka terus membeli surat utang negara atau perusahaan ketika suku bunga rendah di masa jatuh tempo, lalu kemudian suku bunga kebijakan naik tajam.

"Neraca yang lebih lemah dapat membuat bank sentral kurang bersedia atau tidak mampu memenuhi tujuan yang diamanatkan ketika pengetatan kebijakan diperlukan karena kekhawatiran bahwa tindakan kebijakan yang diperlukan akan merugikan posisi keuangannya sendiri," tulis IMF dalam situs resminya, dikutip Rabu (12/1).

Di samping itu, independensi bank sentral juga dapat terganggu akibat risiko "dominasi fiskal". Ini bisa terjadi ketika  pemerintah menekan bank sentral untuk mengejar tujuan pemerintah. Jadi, sementara bank sentral dapat memulai pembelian aset—sesuai dengan tujuan yang diamanatkannya—mungkin sulit untuk keluar. 

"Pemerintah mungkin menjadi terbiasa dengan pembiayaan murah dari tindakan bank sentral dan menekan bank sentral untuk melanjutkan, bahkan jika inflasi naik dan stabilitas harga harus dilakukan dengan mengakhiri pembelian. Hilangnya kepercayaan terhadap kemampuan bank sentral untuk menjaga inflasi tetap rendah dan stabil dapat memicu periode inflasi yang tinggi dan bergejolak," lanjut IMF.

Kerangka Kebijakan Harus Kredibel

Dua risiko burden sharing itu dibahas dalam diskusi meja bundar IMF baru-baru ini tentang alat kebijakan moneter baru untuk pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang. Dalam agenda tersebut, Lesetja Kganyago (Gubernur, Bank Cadangan Afrika Selatan), Elvira Nabiullina (Gubernur, Bank Rusia), dan Carmen Reinhart (Kepala Ekonom, Grup Bank Dunia) tak hanya menggarisbawahi risiko yang ditimbulkan pada neraca bank sentral dan dominasi fiskal, tetapi juga menyoroti efek samping lain yang tidak diinginkan. 

Menurut mereka, meski pembelian aset dapat meredam tekanan pasar keuangan selama pandemi, kebijakan tersebut dapat memiliki efek yang tidak diinginkan seperti mendorong pengambilan risiko yang berlebihan dan mengikis disiplin pasar. "Dan peran bank sentral yang lebih aktif dalam pembuatan pasar dapat menghambat perkembangan pasar keuangan," terang IMF.

Lantaran itu, menurut IMF, kerangka kebijakan yang kuat dan kredibel menjadi landasan penting dalam skema burden sharing. Prinsipnya, bank sentral harus memiliki keleluasaan untuk menyesuaikan tingkat kebijakannya sesuai kebutuhan untuk mencapai tujuan yang diamanatkan. 

"Bank sentral membayar aset yang mereka beli melalui penerbitan cadangan. Cadangan ekstra ini dapat menimbulkan tekanan inflasi yang besar kecuali bank sentral dapat mensterilkan cadangan dengan menaikkan suku bunga kebijakannya ke tingkat yang konsisten dengan stabilitas harga," jelas IMF.

Prinsip lainnya adalah bahwa setiap pembelian surat utang yang dilakukan bank sentral harus dilakukan atas inisiatifnya sendiri dan untuk mencapai tujuan yang diamanatkan. Dus, ukuran dan durasi pembelian aset tak boleh didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai pemerintah, melainkan untuk stabilitas keuangan. Hal ini harus dijalankan dalam skala yang sederhana dan wajib dikurangi ketika tekanan keuangan mereda, berbeda dengan tujuan pembelian untuk memberikan stimulus ekonomi makro yang mungkin lebih besar dan persisten.

"Prinsip ini paling baik dicapai dengan memastikan bahwa pembelian aset bank sentral dilakukan di pasar sekunder, daripada melalui pembelian pasar primer atau fasilitas cerukan. Pembiayaan langsung memberikan jalan yang mudah bagi pemerintah untuk menentukan ukuran neraca bank sentral dan tingkat bunga yang akan dibayarkan, yang cenderung melemahkan disiplin fiskal dan meningkatkan risiko monetisasi utang," tegas IMF.

IMF juga menekankan pentingnya posisi fiskal yang kuat di mana pemerintah dapat menutupi kerugian yang mungkin terjadi. Dukungan semacam itu diperlukan untuk menjaga otonomi keuangan bank sentral, serta memungkinkannya membuat keputusan kebijakan untuk mencapai mandatnya—daripada mendasarkan keputusan pada kekhawatiran tentang posisi keuangannya atau pemerinta). 

Selain itu, otoritas fiskal lebih cenderung menahan godaan untuk mencari pembiayaan murah dari bank sentral jika posisinya sendiri kuat. "Sementara program pembelian aset mungkin merupakan wilayah yang relatif baru bagi bank sentral di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang, prinsip-prinsip ini akan membantu memberikan landasan yang kokoh," tandas IMF.

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

Most Popular

Mega Insurance dan MSIG Indonesia Kolaborasi Luncurkan M-Assist
Siapa Pemilik Grab? Perusahaan Jasa Transportasi Terbesar
Booming Chip Dorong Pertumbuhan Ekonomi Singapura
Dorong Bisnis, Starbucks Jajaki Kemitraan Strategis di Cina
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 22 November 2024
Pimpinan G20 Sepakat Kerja Sama Pajaki Kelompok Super Kaya