Jakarta, FORTUNE - Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF, Abdul Manap Pulungan, mengatakan potensi gagal bayar utang Amerika Serikat (AS) tidak akan berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebab, ketergantungan Indonesia terhadap negeri tersebut, baik dalam hal perdagangan maupun investasi, tidak terlalu besar.
Di samping itu, potensi gagal bayar utang juga bukan kali ini saja menjadi ancaman, melainkan telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
"Saat di era [Presiden Donald] Trump, atau di era [Presiden Barack] Obama, mereka melakukan penghematan dengan men-shutdown aktivitas Pemda atau K/L yang tidak signifikan. Bagi AS memang dampaknya akan terlihat dari pertumbuhan ekonomi khususnya di pertumbuhan konsumsi rumah tangga maupun dari konsumsi pemerintah," ujarnya.
Abdul Manap memperinci ihwal ketergangungan Indonesia terhadap AS yang rendah dalam hal perdagangan.
Dari sisi ekspor, misalnya, kontribusinya hanya 9,22 persen dari total ekspor nasional, sementara impornya hanya sekitar 4,8 persen.
"Nah, penurunan [perekonomian AS] ini akan berdampak disebabkan oleh ketika nanti memang pada akhirnya di-shutdown maka akan ada penurunan permintaan AS terhadap ekspor Indonesia," katanya.
Kedua, dari sisi penanaman modal.
Porsi penanaman modal Indonesia dari AS masih sekitar 6 persen dari total investasi asing langsung (foreign direct investment). "Sebetulnya tidak begitu signifikan, tapi rata-rata investasinya di sektor-sektor strategis khususnya yang energi," ujarnya.
Imbal hasil SBN
Memang akan ada pengaruh dari sektor moneter yang transimisinya akan berdampak terhadap nilai tukar dan tingkat suku bunga. "Karena pada saat terjadinya gejolak pada sisi moneter biasanya akan bertransimsi pada nilai tukar karena disebabkan adanya capital outflow," katanya.
Selain itu, sektor fiskal juga bisa terdampak oleh kenaikan imbal hasil SBN ketika terjadi gejolak nilai tukar—yang ujung-ujungnya mempengaruhi besarnya cost of fund atau biaya yang harus dikeluarkan pemerintah pada setiap lelang SBN.
Namun, pengaruh potensi gagal bayar tersebut kemungkinan masih akan minim. Ini terlihat, misalnya, dari imbal hasil (yield) SBN Indonesia yang sudah bergerak menurun. Kendati yield SBN mulai meningkat lagi menjadi 6,557 persen, hal tersebut juga lebih disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi global yang telah berlangsung sejak pandemi dan diperparah oleh konflik bersenjata Rusia-Ukraina.
"Sebetulnya gejolak yang terjadi di AS ini sangat jamak, mulai dari masalah kebijakan moneter, terus potensi gagal bayar, apalagi sekarang kecenderungan negara-negara lain untuk mengurangi kebergantungan terhadap penggunaan dolar. Tentu situasi yang ini akan menghimpit ekonomi AS, di mana negara ini menjadi pemilik sekitar 20 persen dari output ekonomi global," ujarnya.