Jakarta, FORTUNE - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan dibutuhkan investasi hingga Rp3.500 triliun untuk memenuhi komitmen pemerintah menurunkan emisi karbon hingga 29 persen pada 2030.
Namun, dari total kebutuhan itu, pemerintah melalui APBN hanya bisa memenuhi kurang dari 40 persen. Sisanya bisa dilakukan dengan kerja sama pemerintah dan badan usaha, atau melalui proyek swasta murni.
"Dari APBN hanya kurang dari 40 persen, makanya sudah jelas ini tidak mungkin APBN saja. Ini harus melibatkan kalau dari sisi pemerintah ada Pemda, swasta lalu kemudian dukungan internasional," ujarnya dalam Indonesia Energy Transition Dialogue 2021, Senin (20/9).
Dari sisi pemerintah sendiri, kata Febrio, insentif pajak telah banyak ditebar untuk mendukung pengembangan energi baru terbarukan, mulai dari tax holiday, tax allowance dan sebagainya. Sementara dalam konteks pembiayaan, salah satu inisiatif yang telah dimulai adalah penerbitan green sukuk.
"Ini belum banyak negara yang menerbitkan instrumen keuangan green. Baru indonesia yang menerbitkan dan ini direspons oleh pasar global. Artinya kalau Indonesia punya roadmap yang baik, dan kita sudah lihat misalnya pembiayaan APBN kita tagging untuk climate change, pasar internasional merespons ini," ungkapnya.
Fokus Sektor Energi
Sebagai pengingat, pemerintah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton karbon dioksida atau CO2 pada 2030 sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC) usai ratifikasi Paris Agreement pada November 2016. Target itu diupayakan dengan meningkatkan kapasitas pembangkit EBT dalam bauran energi nasional dari semula 5 persen di 2015 menjadi 23 persen pada 2025, lalu 25 persen pada 2030.
Menurut Febrio hal ini lantaran sektor energi merupakan salah satu penghasil emisi terbesar di Indonesia bersama dengan sektor kehutanan. Jika keduanya diturunkan dengan signifikan, maka Indonesia bisa memenuhi target untuk menekan emisi hingga 29 persen.
"Dua sektor yang saya sebut ini sudah lebih dari 90 persen kebutuhan kita untuk menurunkan emisi. Sektor lain kita bisa bicarakan juga sektor industri kaca semen dan lain-lain itu turun juga tapi kecil, yang paling besar 97 persen dari emisi lebih dari 50 persen itu sektor kehutanan 40-an persen sektor energi," imbuh Febrio.
Hingga 2030, pemerintah juga akan lebih berfokus menekan emisi karbon di sektor energi. Pasalnya sektor ini membutuhkan waktu cukup lama dan biaya lebih mahal. Untuk sektor kehutanan, kata Febrio, KLHK sudah bisa menargetkan net zero emissions pada 2030. Sedangkan sektor energi, targetnya baru pada 2060.
"Sektor energi sebagai penghasil karbon terbesar, sementara kehutanan itu relatif cukup cepat mengejar target emisinya. di KLHK 2030 itu sudah net zero, sektor energi belum. Di PLN, kita sudah punya rencana passing out coal, tapi ini tidak tiba-tiba, perlu transisi," ujarnya.