Jakarta, FORTUNE - Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai rendahnya investasi hulu migas jadi biang kerok membengkaknya anggaran subsidi di tengah kenaikan harga minyak dunia. Hal ini membuat Indonesia harus bergantung pada impor karena kemampuan produksi dan cadangan migas terus turun secara signifikan.
Reforminer Institute mencatat, investasi hulu migas Indonesia selama periode 2016-2021 rata-rata mengalami penurunan sekitar 1,70 persen per tahun. Sementara pada periode yang sama, investasi hulu migas di Australia, Brazil, dan Malaysia masing-masing meningkat sekitar 5 persen, 4 persen, dan 1 persen per tahun.
Padahal, investasi hulu migas ini penting untuk meningkatkan kinerja hulu migas Indonesia. "Kinerja hulu migas Indonesia dapat dikatakan sebagai bagian dari akar masalah permasalahan subsidi dan kompensasi BBM," ujarnya dalam catatan tertulis yang diterima Fortune Indonesia, Senin (6/6).
Menurut Komaidi, ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab menurunnya investasi hulu migas di Indonesia. Diantaranya adalah Wilayah Kerja (WK) yang sudah tua (mature field), risiko eksplorasi tinggi, insentif hulu migas terbatas, perizinan hulu migas kompleks, dan isu transisi energi.
Dalam hal WK mature field, misalnya, Indonesia menjadi kesulitan mencari investor karena tingkat produksi migasnya terus mengalami penurunan alamiah. Di sisi lain, biaya produksi dan pemeliharaan mature field dilaporkan terus meningkat sejalan dengan penurunan kemampuan produksinya
"Sekitar 70 persen Wilayah Kerja (WK) Migas produksi di Indonesia telah mengalami penurunan produksi alamiah. Produksi migas Indonesia diantaranya dikontribusikan oleh mature field yaitu 4 WK Migas berumur lebih dari 50 tahun dan 36 WK Migas berumur 25-50 tahun," tuturnya.
Insentif fiskal, lanjut Komaidi, menjadi kunci dan instrumen penting untuk menjaga keekonomian dan tingkat produksi migas pada mature field. Ia merujuk riset Inter-American Development Bank (IDB) 2020 yang menemukan bahwa pemberian insentif untuk mature field dapat menambah umur keekonomian proyek rata-rata sekitar 30 tahun.
Ada pula Riset Haliburton yang menemukan bahwa sekitar 70 persen lapangan migas produksi di dunia merupakan mature field, tetapi produksi migas dunia dalam 15 tahun terakhir tercatat masih meningkat. "Produksi minyak rata-rata meningkat sekitar 1,08 persen per tahun dan produksi gas meningkat sekitar 2,67 persen per tahun.
Tata kelola hilir
Selain itu, pengaturan dalam tata kelola hilir migas yang kurang tegas juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kompleksitas dalam penanganan permasalahan subsidi dan kompensasi BBM di Indonesia.
Ia mencontohkan, penetapan kuota BBM subsidi dan JBKP dilakukan oleh pihak yang tidak berperan sebagai pemegang kuasa anggaran maupun pelaksana penugasan (public service obligation/PSO). Akibatnya risiko bisnis, teknis operasional, dan konsekuensi anggaran subsidi/kompensasi seringkali belum menjadi bagian dari variabel penentu di dalam menetapkan target kuota BBM subsidi dan JBKP.
Penyelesaian proses revisi UU Migas yang telah berjalan sejak tahun 2008 (14 tahun yang lalu) merupakan kunci utama untuk dapat menyelesaikan tidak hanya permasalahan subsidi dan kompensasi BBM, tetapi perbaikan terhadap tata kelola hulu-hilir migas nasional secara keseluruhan.
Perbaikan tata kelola hulu-hilir migas melalui revisi UU Migas berpotensi dapat mengembalikan era kejayaan hulu migas Indonesia. Memang, saat ini peningkatan harga minyak kemungkinan tidak secara otomatis meningkatkan nilai investasi hulu migas global.
Pertumbuhan investasi, menurutnya, kemungkinan juga masih akan tetap bervariasi dengan mempertimbangkan stabilitas global dan geopolitik, penanganan pandemi covid-19, komitmen COP-26, dan kebijakan transisi energi.
Namun, data menunjukkan bahwa dalam 5 tahun terakhir investasi hulu migas global rata-rata meningkat 1,30 persen per tahun. Selama tahun 2016-2020 investasi hulu migas global tercatat meningkat sebesar 9,52 persen dan investasi hulu migas global diproyeksikan akan meningkat dari US$418 miliar pada 2021 menjadi sekitarUS$ 476 miliar pada 2024.
Realisasi dan proyeksi investasi tersebut menegaskan bahwa peran hulu migas masih penting di tengah tren transisi energi. "Jika (perbaikan tata kelola) dapat terjadi, Indonesia akan memperoleh windfall profit ketika harga minyak meningkat bukan mengalami tekanan fiskal di APBN seperti saat ini," jelasnya.