Jakarta, FORTUNE - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, mengatakan setoran Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi dari golongan super kaya di Indonesia mencapai Rp3,5 triliun.
Angka tersebut berasal dari 5.443 Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang melaporkan pendapatan di atas Rp5 miliar per tahun dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan.
"Menggunakan basis SPT yang kami dapatkan per Juli kemarin, SPT PPh Orang Pribadi ada sekitar 5.443 wajib pajak yang melaporkan PPh dengan tarif bracket 35 persen dari sekitar 11 juta wajib pajak yang melaporkan SPT PPh 2022," ujar Suryo dalam konferensi pers APBN KiTA, Jumat (11/8).
Seusai ketentuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), golongan WP OP super kaya tersebut dikenakan tarif 35 persen. UU HPP sendiri membagi tarif PPh OP ke dalam lima golongan yang tarif pajak tertingginya tarif 35 persen.
Di luar itu, untuk WP OP dengan penghasilan Rp0-60 juta, dikenakan tarif 5 persen; penghasilan Rp60-250 juta dikenakan tarif 15 persen; penghasilan di atas Rp250 juta-Rp500 juta kena tarif 25 persen; dan penghasilan di atas Rp500 juta-Rp5 miliar dikenakan tarif Rp30 persen.
"Setorannya sekitar Rp3,5 triliun dari Rp10,6 triliun. PPh Orang Pribadi ya, bukan potongan pemungutan dari karyawan. Ini sekitar Rp3,5 triliun dari Rp10,6 triliun setoran dari PPh Orang Pribadi," kata Suryo.
Hitungan setoran pajak
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mengatakan pemerintah bisa meraup pajak sekitar Rp4-5 triliun dari orang super kaya di Indonesia berkat UU HPP.
Pasalnya, mengacu pada laporan SPT tahunan pajak yang dihimpun pada 2022—laporan SPT pajak 2021—ada sekitar 5.000 SPT yang disampaikan wajib pajak berpenghasilan di atas Rp500 juta setahun.
Sebelum UU HPP berlaku, UU PPh yang lama hanya mengenakan tarif 30 persen untuk wajib pajak dengan penghasilan tahunan pada nominal tersebut.
"Ada sekitar 5.000 SPT yang disampaikan di segmen ini dengan kontribusi kurang lebih Rp20 triliun setahun atau sekitar 19 persen," ujarnya dalam siaran video bertajuk"Reformasi Pajak: On The Track" yang disiarkan kanal YouTube Direktorat Jenderal Pajak.
Namun, dia mengatakan bahwa tarif pajak yang dikenakan tidak serta merta dikalikan dengan total penghasilan tersebut. Kalkulasinya dilakukan dengan mengalikan tarif dengan total penghasilan setelah dikurangi pendapatan tidak kena pajak (PTKP).
Misalnya, seorang karyawan tanpa tanggungan (istri dan/atau anak) dengan penghasilan Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta setahun, tidak langsung dikenai pajak Rp3 juta atau 5 persen dari penghasilannya.
Tapi, penghasilan Rp60 juta itu akan dikurangi lebih dulu dengan PTKP sebesar Rp54 juta (untuk wajib pajak tanpa tanggungan). "Berarti (penghasilan kena pajaknya) Rp6 juta. Dikalikan 5 persen. Hanya Rp300 ribu per tahun atau Rp25 ribu per bulan. Kalau tiap hari kita pipis di toilet umum, lebih mahal pipis di toilet umum," katanya.
Sementara jika karyawan tersebut menikah, hitungan PTKP ditambah Rp4,5 juta menjadi Rp58,5 juta. Jika mereka memiliki satu anak, maka PTKP tersebut ditambah lagi menjadi Rp4,5 juta dan seterusnya. "Kalau punya anak satu PTKP jadi Rp63 juta. Rp60 juta dikurangi Rp63 juta malah minus Rp3 juta. Alias tidak membayar pajak," ujarnya.