Jakarta, FORTUNE - Kepulauan Widi di Halmahera Selatan, Maluku Utara, menjadi perbincangan di platform media sosial Twitter setelah menjadi berita pada koran Inggris, The Guardian, pada 30 November 2022.
Berita berjudul Indonesia puts 100-island archipelago up for auction, sparking environmental concerns itu menyebut bahwa pulau-pulau di Kepulauan Widi akan dilelang sebagaimana tertulis pada situs lelang asing Sotheby’s Concierge Auctions yang berbasis di New York, Amerika Serikat.
Namun, berita serupa yang bermunculan sepekan sebelumnya sebenarnya telah ditanggapi oleh pemerintah. Juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, misalnya, menegaskan bahwa gugusan pulau tersebut tidak dimiliki pihak mana pun.
Di sisi lain, Indonesia juga memiliki peraturan perundangan yang menyatakan bahwa pulau-pulau kecil tidak bisa dimiliki oleh pihak mana pun secara utuh.
"Pulau kecil hanya bisa dikelola oleh privat/individu tertentu dengan batasan area maksimal tertentu,” ungkapnya seperti dikutip Antara, Kamis (24/11).
Pihak swasta telah memiliki izin pengelolaan Kepulauan Widi dari pemerintah provinsi setempat sejak 27 Juni 2015. Izin telah diberikan kepada PT Leadership Islands Indonesia (LII) sejak lama. Namun, realisasi pembangunannya belum ada hingga kemudian muncul kabar lelang tersebut.
Jodi mengatakan jika perusahaan/subjek hukum nasional telah mendapat izin pengelolaan, proses kerja sama investasi dengan pihak asing juga harus dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan.
"Bagi pihak-pihak yang berminat untuk mengelola, bukan memiliki, kawasan pulau kecil harus mendapatkan izin dari pemerintah. Jika sampai ada pelanggaran dari ketentuan perundangan, bisa ada sanksi yang bisa dikenakan," ujarnya.
Belum kantongi persetujuan KKP
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan PT LII belum mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
PKKPRL merupakan persyaratan yang harus dipenuhi pemanfaat saat akan melakukan kegiatan menetap pada ruang laut di kawasan pesisir atau pulau-pulau kecil.
"Berdasarkan data di kami, saat ini PT LII belum memiliki PKKPRL untuk pemanfaatan perairan Kepulauan Widi," ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Victor Gustaaf Manoppo, dalam keterangan resminya, Senin (6/12).
Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, setiap pelaku usaha yang memanfaatkan pulau-pulau kecil di luar kawasan hutan atau area penggunaan lainnya (APL) dan pemanfaatan perairan sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing (PMA) wajib mengajukan izin kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, serta mendapatkan PKKPRL dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
“Perizinan-perizinan tersebut wajib dipenuhi oleh PMA," ujarnya, sembari menegaskan bahwa Pulau Widi adalah milik Indonesia dan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. “Berdasarkan peraturan perundang-undangan, gugusan Kepulauan Widi tidak boleh dimiliki oleh orang asing dan tidak boleh diperjualbelikan,” kata Victor.
Dia menambahkan badan hukum asing yang didirikan menurut hukum di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia hanya dapat diberikan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). Hal tersebut juga berlaku bagi PT LII yang merupakan pengembang Kepulauan Widi di Maluku Utara.
“Prinsipnya hanya pemanfaatan saja dan itu pun dilaksanakan secara ketat sesuai dengan regulasi yang berlaku. Tidak bisa diperjualbelikan,” ujar Victor
Pihaknya telah mengkoordinasikan permasalahan ini dengan pemerintah daerah, Kemendagri, Badan Informasi dan Geospasial, serta Pushidrosal TNI AL. Hal tersebut dilakukan agar permasalahan ini dapat ditangani secara komprehensif.
PT LII disebut cari investor
Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Safrizal Z.A., mengatakan pihaknya akan segera melakukan rapat lanjutan terkait dengan rencana aksi terhadap perizinan kepulauan tersebut.
Pertemuan tersebut bakal melibatkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, BKPM, Kementerian ATR/BPN Pusat, Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi, serta Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.
Menurutnya, PT LII melelang Kepulauan Widi guna mencari modal asing (PMA) untuk mengembangkan ecotourism di Halmahera Selatan.
Hal ini tertera dalam MoU PT. LII dengan pemerintah daerah Nomor:120.23/671/G Nomor:430/1047/2015 Nomor: LII/V/2015/001 tentang Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Pariwisata Kepulauan Widi Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara.
“Tujuan MoU dimaksud adalah dalam upaya membangun dan mengembangkan Kawasan Kepulauan Widi sebagai destinasi ecotourism dan kawasan pariwisata unggulan di Provinsi Maluku Utara dengan jangka waktu pengelolaan selama 35 tahun,” kata Safrizal.
PT LII juga disebut belum melakukan pengembangan apa pun di Kepulauan Widi sejak penandatanganan MoU pada 2015. Perusahaan berbasis di Denpasar, Bali, ini juga belum memenuhi perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut dari pemerintah pusat yang terintegrasi melalui Online Single Submission (OSS).
“Sampai saat ini, PT. LII belum melakukan permohonan perizinan operasional sehingga belum mendapatkan rekomendasi dan memiliki PKKPRL yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan,” ujar Safrizal.
Lantaran itu pula, Kemendagri meminta pemerintah provinsi melalui dinas PTSP membekukan izin PT. LII secara sementara.
“Apabila PT LII bisa menunjukan kelayakan atas pemanfaatan lahan maka izin bisa dibuka kembali. Namun, apabila tidak dapat menunjukan kelayakan terhadap pemanfaatan lahan sesuai MoU, maka akan dicabut selamanya,” kata Safrizal.
Pemda Kabupaten Halmahera Selatan akan menyampaikan surat permohonan kepada DPMPTSP Provinsi Maluku Utara untuk meninjau ulang perizinan yang diterbitkan PT LII. Pasalnya, PT LII telah melanggar kesepakatan karena selama tujuh tahun ini belum merealisasikan pembangunan di bidang pariwisata bahari di Kepulauan Widi.
“DPMPTSP Provinsi Maluku Utara segera melakukan proses pencabutan sementara perizinan kepada PT LII. Mengingat belum ada realisasi kegiatan apa pun selama 7 tahun, maka sesuai regulasi dapat dilakukan pencabutan,” ujar Safrizal.