Jakarta, FORTUNE - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengaku telah berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait penyelenggaraan pasar karbon di Indonesia.
Nantinya, perdagangan karbon bakal dilakukan di pasar modal atau bursa efek Indonesia dengan mekanisme yang akan diatur lebih lanjut oleh lembaganya.
"Kami juga sudah mempersiapkan pasar karbon di Indonesia. Dan kami tentunya bekerja sama dengan pemerintah terutama KLH di mana menjadi prakarsa di mana kaitannya dengan lingkungan ini. Tinggal bagaimana nanti keputusan resminya dari pemerintah dan pasar modal siap melaksanakan carbon trading ini," ujarnya di Komisi XI, DPR RI, Kamis (27/1).
Selain perdagangan karbon, OJK juga terus mendukung pemerintah dalam ekonomi hijau serta pencapaian target penurunan emisi seperti tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang merupakan turunan dari Perjanjian Paris.
Salah satu bentuk dukungan itu adalah peluncuran taksonomi hijau yang menjadi acuan bagi sektor jasa keuangan dalam menjalankan praktik keuangan berkelanjutan.
"Kami ingin mendukung lebih detail lagi berkaitan dengan ekonomi hijau yaitu kita telah melaunching taksonomi hijau ini adalah daftar sektor dan subsektor dari hulu dan hilir mengenai mana kaidah hijaunya itu kita sepakati bersama," jelasnya.
Taksonomi hijau, lanjut Wimboh, juga bakal memuat daftar sektor dan subsektor mana saja yang membutuhkan insentif dan perlu diberi disinsentif agar kegiatan sejalan dengan tujuan pemerintah dalam pengembangan ekonomi hijau.
"Ini sudah kami diskusikan dengan kementerian dan lembaga dan jadikan agenda di Asean maupun di global karena berdasarkan berbagai sektor tadi mana sektor yang perlu mendapat insentif dan disinsentif. Ini sudah kami launching kemarin," jelasnya.
Waspadai Dampak Normalisasi Ekonomi Global
Dalam kesempatan itu, Wimboh Santoso mengungkapkan stabilitas sistem keuangan selama 2021 masih terjaga. Ini terlihat dari kinerja sektor perbankan hingga Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yang tetap moncer meski Indonesia masih dihadapkan pada persoalan pandemi Covid-19.
Meski demikian, kata Wimboh, pemerintah harus mengantisipasi normalisasi kebijakan ekonomi dari negara-negara maju yang akan memberikan dampak pada sektor keuangan di Indonesia.
Ia mencontohkan, pengetatan likuiditas global dapat berdampak pada negara berkembang seperti Indonesia dalam bentuk keluarnya arus modal asing atau capital outflow.
"Pemerintah dan seluruh otoritas keuangan negara maju telah menunjukkan sinyal mempercepat normalisasi kebijakan fiskal dan moneternya dan dalam hal ini berdampak munculnya pengetatan likuiditas global. Sehingga perlu mengantisipasi adanya potensi spill over ke negara emerging termasuk Indonesia," tuturnya.
Selain itu, ada pula potensi inflasi global yang tinggi dan diikuti dengan kenaikan suku bunga. Hal ini perlu diwaspadai sebab dapat menganggu keberlanjutan utang di emerging market dan mengikis tingkat kepercayaan investor.
"Meski demikian di sisi industri jasa keuangan, secara umum stabilitas jasa keuangan masih terjaga di 2021 dan rasio prudent sektor keuangan seperti permodalan, likuiditas, dan pertumbuhan kredit menunjukkan perbaikan luar biasa. OJK akan terus berperan aktif dalam menjawab tantangan ke depan terutama melalui kebijakan yang strategis yang kami persiapkan," terangnya.