Jakarta, FORTUNE - Direktur Utama PT Timah Tbk, Achmad Ardiant, meminta pemerintah mengeluarkan regulasi pemanfaatan logam tanah jarang (LTJ) alias rare earth untuk kepentingan dalam negeri. Menurutnya, beleid semacam itu diperlukan karena ke depan perusahaan-perusahaan pertambangan akan lebih getol mencari logam langka tersebut melalui proses total mining.
PT Timah sendiri telah berhasil mengekstraksi monasit dari proses penambangan bijih timah yang mereka lakukan. Dari mineral ikutan tersebut, terdapat kandungan logam tanah jarang jenis thorium yang dapat digunakan untuk pembangkit listrik energi baru terbarukan.
"Monasit itu kan dipecahkan dahulu, kemudian dipisahkan, kemudian dimurnikan. Pada saat sudah dipisahkan, di situ dia ada unsur radioaktif atau thorium. Nah pemanfaatan thorium ini kedepan ke mana kalau belum ada regulasinya? Itu akan menjadi persoalan tersendiri," ujanya dalam RDP di komisi VII, Senin (11/4)
Achmad menjelaskan, ekstraksi monasit dalam pertambangan PT Timah dilakukan dengan menggandeng Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Mineral tersebut kemudian diproses kembali menjadi monasit hidroksida dengan prosedur cracking dan dapat digunakan untuk berbagai kepentingan.
"Stok tersebut belum bisa dimanfaatkan lebih jauh karena terkendala aturan dan ketersediaan pasar. Sekarang ada 300 ton stok monasit hidroksida, siap untuk dikembangkan lebih jauh," tuturnya. "Tapi kalau sudah ada kebijakannya tentu bagi kami memaksimalkan logam tanah jarang dari monosit itu lebih masuk akal," jelasnya.
Menurut Achmad, tiap ton bijih timah mengandung 0,95 persen monasit yang bisa digunakan sebagai lapisan pewasat tempur, satelit dan baterai listrik. Menurut catatan Badan Geologi pada 2019, Indonesia memiliki sumber daya logam tanah jarang jenis ini sebesar 23.500 ton.
“Langkah selanjutnya menemukan teknologi yang tepat untuk memastikan monasit itu bisa terkestraksi dan bisa dikapitalisasi menjadi logam dan bisa dijual ke penggunanya,” imbuh Ardianto.
Kembangkan teknologi
Selain ekstraksi monasit, PT Timah dan Batan juga telah melakukan sejumlah penelitian pengolahan monasit menjadi konsentrat monasit karbonat, monasit hidroksida, dan monasit oksida.
Tahun ini ditargetkan sudah ada teknologi pengolahan yang akan dilajutkan dengan persiapan dan operasional pabrik pada 2024. "Jadi kami sudah cukup jauh dan sudah jadi perhatian pemerintah cukup lama. Cukup banyak pilot project yang dibuat tapi fokusnya pada reparasi dan pemurnian. Kami ingin memastikan bahwa pengolahan diawali, kita dapat teknologi yang tepat," imbuh Achmad.
Ia menamahkan, hina kini teknologi pengolahan timah menjadi monasit sangat jarang ditemui di dunia. Jika pun ada, kapasitas yang ditawarkan tidak cocok dengan kapastias produksi yang ada di Indonesia.
“Teknologi yang ada di dunia saat adalah yang ekonomis untuk 4.000 ton per tahun, sementara yang kita butuhkan untuk untuk cadangan total 23.500 ton adalah teknologi dengan kapasitas 1.000 ton per tahun,” ujarnya.
Karena itu pula, PT Timah menjalin kerja sama dengan perusahaan teknologi asal Kanada untuk mengembangkan teknologi pengolahan monasit dengan kapasitas 1.000 ton per tahun.
Harapannya, pemerintah memberikan dukungan investasi awal berupa pendanaan maupun regulasi yang mengatur tata kelola pengusahaan Monasit. “Perlu turunan PP No.96 Tahun 2021 untuk tata Kelola Monasit sebagai logam dan perlunya kesiapan pasar dalam negeri untuk menampung logam tanah jarang monasit,” ujarnya.