Jakarta, FORTUNE - Dorongan yang kuat untuk beralih ke sumber energi baru terbarukan membuat sejumlah bank dan lembaga pembiayaan mengkategorikan komoditas batu bara sebagai aset berisiko tinggi. Pasalnya, ada potensi penurunan signifikan permintaan komoditas "emas" hitam tersebut di masa-masa mendatang.
Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo, menuturkan, transisi energi global bakal mengakibatkan industri batu bara kehilangan pasar dan terpaksa merancang strategi bisnis untuk keluar dari komoditas tersebut. Karena itu, menurutnya, pemerintah perlu berpikir ulang untuk memperpanjang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diajukan perusahaan.
"Ada risiko besar sebab ini berarti hampir semua perusahaan batubara Indonesia akan tertinggal,” ujarnya dalam Media Briefing “Nasib Perpanjangan Kontrak PKP2B di Tengah Menyusutnya Pendanaan Batubara”, Kamis (14/7).
Andri menyitir salah satu studi dari Australian National University (ANU) yang memprediksi ekspor batubara China akan menyusut 49 persen pada 2025 akibat kebijakan dekarbonisasinya. Dengan penyusutan cukup besar tersebut, ekspor batu bara Indonesia ke China yang mencapai 45 persen--pada 2021-- juga akan tergerus.
“Industri batubara saat ini memang sedang dalam fase panen keuntungan karena harga komoditas yang sedang tinggi akibat pengaruh dinamika geopolitik global. Namun, nasib baik dan masa depan industri batubara diprediksi tidak mampu bertahan lama,” jelas Andri.
Perusahaan batu bara diversifikasi bisnis
Direktur Eksekutif Asosiasi Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, pada Maret 2022 mengakui pembiayaan batubara memang semakin langka dan perusahaan tambang harus lebih mengandalkan modal internal untuk membiayai proyeknya.
Baru-baru ini, misalnya, Standard Chartered, salah satu bank terbesar di Inggris, dikabarkan menghentikan dukungan pendanaan ke PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO). Kebijakan ini keluar setelah meningkatnya tekanan dari para aktivis lingkungan perihal keterlibatan bank dengan Adaro.
Meski demikian Adaro sendiri berencana menyiapkan sejumlah bisnis baru, seiring tuntutan transisi energi di level global dan domestik. Chief Financial Officer Adaro Lie Luckman mengatakan, perseroan berencana mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin pembangkit listrik tenaga air atau hidro, serta pembangkit listrik berbasis surya.
“Sekarang kami menyiapkan bisnis-bisnis baru, sehingga ketika itu (cadangan batu bara) semakin menurun, kami memiliki bisnis baru untuk menjaga EBITDA dan financial performance ke depan,” ujar Luckman pekan lalu.
Menurut Luckman, langkah tersebut juga merupakan upaya diversifikasi portofolio usaha mengingat cadangan batu bara di wilayah konsesi perusahaan yang terus berkurang. Dengan rata-rata produksi batu bara oleh Adaro sekitar 50-60 juta ton per tahun dan bila mendapat perpanjangan konsesi dua kali sepuluh tahun ke depan, cadangan batu bara nantinya diperkirakan mendatar kemudian turun.
“Sementara kami punya waktu 10 tahun ke depan, kami bisa membangun wind, solar, dan hidro. Untuk membangun hydropower itu membutuhkan waktu sekitar 7-8 tahun, sedangkan yang lain mungkin bisa lebih cepat. Jadi strategi kita begitu,” ungkap Luckman.