Jakarta, FORTUNE - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menyatakan penduduk Kelas Menengah menurun lebih dari 8,5 juta jiwa sejak 2019.
Akibatnya, jumlah penduduk kelas menengah hingga akhir 2023 hanya mencapai 52 juta jiwa, dengan proporsi populasi sekitar 18,8 persen.
Padahal, Indonesia mengalami adanya kenaikan jumlah kelas menengah dalam periode 2014 hingga 2018. Dalam kurun tersebut, kelas menengah Indonesia bertambah lebih dari 21 juta jiwa, meningkat dari 39 juta jiwa menjadi 60 juta jiwa.
"Pada periode ini, proporsi kelas menengah naik dari 15,6 persen menjadi 23,0 persen. Namun, sejak saat itu, penduduk kelas menengah menurun lebih dari 8,5 juta jiwa," demikian LPEM UI dalam Indonesia Economic Outlook Kuartal III-2024.
Di sisi lain, calon kelas menengah—yang didefinisikan sebagai penduduk dengan kemungkinan kurang dari 10 persen untuk menjadi miskin, tetapi memiliki kemungkinan di atas 10 persen untuk menjadi rentan—menunjukkan peningkatan yang konsisten dari tahun ke tahun.
Pada 2014, penduduk dalam kategori ini merepresentasikan sekitar 45,8 persen populasi atau setara dengan 115 juta jiwa.
Pada 2023, angka tersebut meningkat menjadi 53,4 persen atau setara dengan 144 juta jiwa, sehingga lebih dari separuh populasi Indonesia masuk dalam kategori calon kelas menengah.
Ekspansi pada kategori calon kelas menengah dan kelas menengah antara 2014 hingga 2018 mengindikasikan tren positif dari mobilitas sosial ke atas. Pada periode ini, proporsi populasi miskin dan rentan menurun, sedangkan calon kelas menengah dan kelas menengah mengalami pertumbuhan.
"Namun, dari tahun 2018 hingga 2023, ekspansi calon kelas menengah mengindikasikan adanya kemunduran dari progres ini. Porsi populasi rentan meningkat, dan kelas menengah menyusut, mengindikasikan adanya pergeseran individu yang sebelumnya berada di kelas menengah menjadi calon kelas menengah atau bahkan rentan," jelas LPEM UI.
Kondisi ini cukup mengkhawatirkan, sebab kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara karena menyumbang 50,7 persen dari penerimaan pajak. Sementara itu, calon kelas menengah menyumbang lebih rendah, yakni sebesar 34,5 persen.
"Kontribusi ini sangat krusial untuk mendanai program pembangunan publik, termasuk investasi infrastruktur dan sumber daya manusia. Untuk mendukung investasi tersebut, sangat penting menjaga daya beli, baik kelas menengah maupun calon kelas menengah," demikian LPEM UI.
Tidak menyangkut pajak, pengeluaran konsumsi kelompok kelas menengah juga cukup signifikan dalam menopang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
Sebagai gambaran, pada 2023 total konsumsi dari kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah yang mencapai 82,3 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia. Dari jumlah tersebut, calon kelas menengah menyumbang 45,5 persen, sedangkan kelas menengah menyumbang 36,8 persen.
Meski kontribusi kedua kelas tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan 2014, yang masing-masing kelompok menyumbang 41,8 pesen dan 34,7 persen dari konsumsi, tren mereka mengalami perbedaan dalam lima tahun terakhir.
"Porsi konsumsi calon kelas menengah meningkat dari 42,4 persen pada tahun 2018, sementara porsi konsumsi kelas menengah justru turun dari 41,9 persen pada periode yang sama. Penurunan ini menunjukkan berkurangnya konsumsi kelas menengah, yang mencerminkan potensi penurunan daya beli mereka," jelas LPEM.
Pada 2023, mayoritas orang Indonesia masih mengalokasikan sebagian besar pengeluaran mereka untuk makanan, kecuali kelas menengah dan kelas atas. Kelas menengah mengalokasikan 41,3 persen dari pengeluaran mereka untuk makanan, sedangkan kelas atas hanya menghabiskan 15,6 persen.
Untuk calon kelas menengah, porsi pengeluaran untuk makanan sedikit menurun dari 56,1 persen pada 2014 menjadi 55,7 persen pada 2023. Sebaliknya, kelas menengah mengalami peningkatan pengeluaran untuk makanan, naik dari 36,6 persen menjadi 41,3 persen pada periode yang sama.
"Peningkatan porsi pengeluaran untuk makanan, atau penurunan konsumsi nonmakanan, dapat dijadikan indikator yang mengkhawatirkan. Pengeluaran nonmakanan, seperti untuk barang tahan lama, kesehatan, pendidikan, dan hiburan, lebih mencerminkan daya beli dan kesejahteraan ekonomi. Pengeluaran ini cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan yang dapat dibelanjakan dan merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi," begitu bunyi riset LPEM UI.
Karena itulah, peningkatan porsi pengeluaran untuk makanan menunjukkan penurunan daya beli kelas menengah.
Menurut laporan tersebut, erosi daya beli ini menjadi perhatian karena berdampak pada konsumsi agregat, yang merupakan pendorong penting pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.