Jakarta, FORTUNE - Leuweung héjo, rakyat ngéjo. Begitu Dedi Kusnadi, 45 tahun, punya prinsip. Slogan berbahasa Sunda itu—yang secara sederhana berarti ‘hutan lestari membawa rezeki’—mewujud pada caranya memperlakukan pohon sebagai penyangga hidup. “Satu pohon ini,” katanya sembari menunjuk pokok damar yang menjulang, “bisa ngasih penghidupan buat tiga orang.”
Saya bertemu Dedi di muka penginapan Wonderful Citamiang, Cisarua, Kabupaten Bogor pada pekan pertama Januari 2022. Berbeda dengan bungalo dan sanggraloka lain di kawasan Puncak, bangunan di tempat itu dirancang mengikuti lanskap hutan tanpa melakukan penebangan.
Pepohonan keras seperti pinus, damar dan rasamala masih tegak sejak warga Desa Tugu Utara menanamnya 25 tahun silam. Tanaman-tanaman itu juga serupa benteng yang melindungi kawasan dari longsor. Akarnya kuat mengikat tebing-tebing yang disapu air hujan dari area lebih tinggi.
Dedi warga asli Tugu Utara dan menjabat Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Puncak Lestari. Organisasi itu terbentuk pada 2008 setelah Perhutani memulai Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), dan bertujuan memaksimalkan peran kelompok masyarakat di area konsesi hutan tanaman industri milik perusahaan.
Pada 2018, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (SK KuLin-KK) untuk 610,64 hektare lahan Desa Tugu Utara. Dus, Tugu Utara beroleh legalitas sebagai kawasan perhutanan sosial–program yang digalakkan pemerintah untuk mengatasi konflik di areal konsesi.
Bagi Dedi dan pengurus LMDH lainnya, SK KuLin-KK adalah tonggak penting. Sebab, eksistensi masyarakat yang mengelola area di kawasan hutan diakui dan dilindungi oleh negara. Dalam skema PHBM, masyarakat desa hanya “diikutsertakan”, sementara aktor utamanya adalah Perhutani. Kini, masyarakat menjadi pelaku utama dan lebih leluasa menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Wonderful Citamiang, yang dibangun sejak 2019, merupakan contoh nyata. Ia berdiri dengan investasi dari Andra Consulting.
Sejak SK dirilis, keterlibatan masyarakat dalam memanfaatkan potensi hutan pelan-pelan juga meningkat. Bahkan warga bekerja sebagai buruh di perkebunan teh pun turut mencari tambahan penghasilan. Mereka memperoleh gaji dan upah dari pengelolaan ekowisata, serta keuntungan dari penjualan hasil pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLBT). Setiap anggota LMDH memperoleh garapan 1-3 ha per KK yang diusahakan budidaya tanaman kopi, buah-buahan (alpukat, nangka), tanaman pangan, hijauan pakan ternak, atau budidaya lebah madu.
Kondisi barusan sulit ditemukan pada 1990-an. Pada dasawarsa itu, kata Dedi, banyak pemuda Desa Tugu Utara lebih kepincut bekerja di kota. Termasuk dia, yang sempat merantau ke Jakarta pada 1995 dan menjajal rupa-rupa pekerjaan sebelum akhirnya pulang dua tahun berselang. Dedi menghindari ‘rabun dekat’. Dia sadar potensi ekonomi desanya, terutama dari hutan, ternyata besar.
“Banyak yang mengembangkan tempat ini, orang dari mana-mana datang. Masyarakat sekitar harusnya bisa lah kelola. Saya punya cita-cita di sini. Jadi, kami gali potensi hutan,” katanya, mengisahkan kembali alasannya hengkang dari Jakarta. “Sekarang hutan enggak lagi dipandang sebelah mata.”
Menjajal pasar karbon
Pun begitu, LMDH dan masyarakat Tugu Utara tak hanya memanfaatkan potensi hutan sekitar. Mereka juga rutin melakukan penghijauan di kawasan puncak untuk mengimbangi alih fungsi lahan hutan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Pada 2019, LMDH mengambil langkah strategis dengan merintis usaha jasa lingkungan di bidang penyimpanan dan penyerapan karbon. Program itu tertuang dalam rencana kerja periode 2020-2029, berdampingan dengan ekowisata dan jasa tata air yang telah lebih dulu berjalan.
Ide menjual karbon datang setelah Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merancang program pengelolaan hutan lestari di Tugu Utara pada 2016. Waktu itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gaia Indonesia, yang didapuk sebagai pendamping desa, memberikan sesi pelatihan soal perdagangan karbon kepada anggota LMDH.
Dua tahun kemudian, sejumlah pengurus LMDH Puncak Lestari melakukan studi banding ke hutan adat Aik Bual, Lombok Tengah, dan melihat sendiri keuntungan dari pembayaran imbal jasa lingkungan (payment for ecosystem services/PES) penyerapan karbon atau sekuestrasi. “Kami mau coba karena di sana mereka penghasilannya lumayan besar,” ujarnya.
Saat ini, ada sekitar 100 hektare lahan hutan yang siap dijadikan proyek kredit karbon. Letaknya di Gunung Kencana, 1.080 meter di atas permukaan laut (MDPL)—kawasan tertinggi di Tugu Utara. Lahan itu sudah bisa disertifikasi karena LMDH memiliki data lengkap tiap pohon yang ditanam pada penghijauan 2019.
"Tahun lalu orang dari Bappenas ke Gunung Kencana. Setelah lihat, dia tanya, ‘ini mau dijual enggak karbonnya’," kata Dedi menyebut sebuah tawaran yang pernah datang ke LMDH. "Sampai sekarang kami masih proses persiapan dulu. Arahnya akan ke sana pasti, tapi butuh banyak pelatihan dan pendampingan juga."
Penyimpanan dan penyerapan karbon memang bisa jadi strategi jitu dan menguntungkan untuk mengelola perhutanan sosial. Tugu Utara punya potensi itu. Pasalnya, masih banyak wilayah yang dapat dijadikan proyek penyerapan karbon melalui penanaman kembali atau restorasi. Tugu Utara juga menyimpan hutan lindung dengan total luas lahan 200 hektare. Setelah proses sertifikasi, keduanya dapat dijual sebagai kredit karbon.
Potensi bisnis ini juga berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), yang merupakan turunan dari ratifikasi Perjanjian Paris, pemerintah berkomitmen memangkas emisi GRK hingga 29 persen pada 2030. Dengan bantuan internasional, janji itu melonjak menjadi 41 persen.
Pada November 2021, melalui Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, pemerintah mengatur skema perdagangan karbon sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim. Beleid tersebut juga menjadi pintu masuk bagi penerapan pasar karbon wajib di dalam negeri. Sebab, emisi tahunan yang dihasilkan dari kegiatan masyarakat atau dunia usaha akan sesuai dengan peta jalan pencapaian NDC.
Jika emisi yang dihasilkan melebihi batas, para pihak tersebut wajib membeli kredit karbon atau melakukan offsetting untuk “menyerap” kelebihan GRK yang mereka lepas. Artinya, permintaan kredit karbon akan meningkat padatahun-tahun mendatang.
Meski begitu, perdagangan karbon tidak bisa diterapkan pada semua kawasan perhutanan sosial. Beberapa wilayah perhutanan sosial berstatus hutan produksi dan hanya bisa dimanfaatkan untuk usaha seperti ekowisata atau agroforestri. Kulin-KK di wilayah konsesi PT Surya Hutani Jaya, Kalimantan Timur, bisa jadi misal.
Di sana, perhutanan sosial dikelola masyarakat Desa Menamang Kiri melalui penanaman karet, Eucalyptus pellita, kelapa sawit, atau tanaman lainnya. Praktiknya berbeda dari wilayah Tugu Utara yang berstatus hutan produksi fungsi lindung.
Di sisi lain, pelaku perhutanan sosial di Tugu Utara dicegat kendala teknis. Taufiqurohman, sekretaris LMDH Puncak Lestari, mengatakan persoalan utama mereka adalah kurangnya pengetahuan dan biaya sertifikasi proyek kredit karbon yang relatif mahal. Praktis, yang bisa dilakukan LMDH saat ini adalah memetakan kawasan dan mencari investor yang mau diajak berkolaborasi.
“Selain pemetaan partisipatif, ada juga pemberdayaan masyarakat dan penanaman. Setelah itu semua, tahap terakhir barulah sertifikasi di kawasan yang bisa kami intervensi untuk perdagangan karbon,” ujarnya.
Celah bagi investor
Tingginya biaya sertifikasi diakui oleh Peter F Gontha, Chairman Melchor Group—perusahaan yang bergerak di restorasi dan konservasi hutan hingga emission accounting. Menurut perhitungannya, ongkos yang dibutuhkan untuk penanaman, penghitungan serapan, sertifikasi, hingga pemantauan proyek kredit karbon di lahan hutan bisa mencapai US$120–150 per hektare. Meski demikian, keuntungan dari penjualan kredit karbon bisa jauh lebih besar. “Secara hitung-hitungan sebenarnya masih akan tetap untung,” kata Piter saat ditemui di kediamannya.
Pada dasarnya, tiap hektare lahan yang dikembangkan untuk proyek kredit karbon dapat menyerap ratusan hingga ribuan ton setara karbondioksida (CO2e), bergantung pada kualitas pohonnya. Jika tiap hektare dapat menyimpan sekitar satu ton CO2e, dan kredit karbonnya dijual dengan harga terendah US$5 per ton saja, pengembang jelas sudah dapat untung besar.
Melchor Group membuka kerja sama proyek kredit karbon dengan para pengelola perhutanan sosial di Indonesia. Perseroan bukan saja memodali penghijauan, tapi juga membantu proses sertifikasi hingga penjual kredit karbon yang dikelola lembaga hutan desa.
“Banyak utusan masyarakat (perhutanan sosial) yang sudah datang ke kami dan meminta bekerja sama,” kata Peter dalam sebuah kesempatan. “Kalau hutan sosial kan skalanya kecil, sementara offsetting pembeli kebutuhannya besar. Mereka (pengelola hutan desa) masuk saja ke kami, kerja sama, nanti kami modali (dan) hasil penjualan karbonnya dibagi.”
Didukung Jejak.In, anak usaha Melchor yang menguasai teknologi penghitungan emisi hingga pemantauan reforestasi, perseroan juga menawarkan pemanfaatan maksimal tiap hektare lahan yang akan dijadikan proyek kredit karbon. Terlebih, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP 26) di Glasgow awal November lalu, Jejak.In telah menyepakati kerja sama dengan verifikator independen internasional untuk proyek kredit karbon, Verra.
Kerja sama dimaksud bertujuan untuk memastikan sertifikasi kredit karbon oleh Melchor sesuai dengan standar internasional, dan memungkinkan perusahaan untuk menjualnya dengan harga lebih tinggi.
"Kami akan tentukan satu site untuk mulai register di Verra menggunakan platform dan teknologi Jejak.In dan seluruh elemen yang ada dalam Melchor Group untuk menjalankan satu proyek setelah COP 26 ini," kata Arfan Alfanda, pendiri dan CEO Jejak.In. "Nanti Verra akan kirim tim dan tenaga ahlinya untuk memberikan masukan agar yang kita lakukan sejalan dengan standar verifikasi mereka."
Di atas kertas, kerja sama yang ditawarkan Melchor Group memang lebih menguntungkan ketimbang skema sertifikasi kredit karbon yang telah lebih dulu ada di Indonesia seperti Plan Vivo. Sebab, menurut Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf, pembayaran yang dilakukan dari skema Plan Vivo tidak dihitung berdasarkan harga karbon di pasar wajib maupun pasar sukarela, melainkan bersifat imbal jasa lingkungan.
Nilai yang dihitung dalam skema ini adalah simpanan karbon dari hutan yang telah ada, bukan dari proyek penghijauan atau restorasi kawasan hutan, gambut atau tanaman bakau. “Jadi, orang yang membayar ke perhutanan sosial dengan Plan Vivo Standard itu kerangkanya adalah hibah,” kata Rudi.
KKI Warsi adalah LSM yang melakukan pendampingan terhadap pengelola perhutanan sosial untuk proyek sertifikasi karbon. Hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) di Kabupaten Bungo, Jambi, adalah salah satu wilayah dampingannya. Kawasan itu telah menikmati “berkah karbon” dari skema PES Plan Vivo itu.
Total luas Bujang Raba sekitar 14 ribu hektare, dan dikelola oleh lima desa. Pada mulanya, KKI Warsi hanya mendampingi masyarakat untuk mengelola hutan agar tetap lestari via pengembangan ekonomi alternatif. Dengan cara itu, masyarakat diharapkan tak membabat hutan untuk lahan pertanian. Penerapannya macam-macam, mulai dari ekowisata seperti river tubing, hingga agroforestri. Pada yang terakhir disebut, Warsi melakukan pendampingan praktik pertanian berkelanjutan.
“Kalau jaga hutan, air bagus, pasti ada pendapatan. Kemudian agroforestri, di luar hutan. Mereka tanam macam-macam, utamanya karet. Kemudian ada kayu manis, durian, duku, ada juga rotan. Kami bantu mereka untuk bisa mengembangkan nilai tambah,” kata Rudi.
Langkah ini berhasil menahan laju deforestasi dan meningkatkan skala ekonomi masyarakat di sekitar hutan desa. Hasil getah karet yang masyarakat jual, misalnya, bisa dibeli dengan harga lebih mahal karena pelaksanaan penanaman berkelanjutan.
“Kami mengawali pengembangan agroforestri mereka. Kan agroforestri hasilnya lebih sedikit daripada agrikultur. Nah, bagaimana supaya harganya bisa bagus? Pada awal dulu, kami dapat bekerja sama dengan Bridgestone. Mereka mau beli karet agroforestri dengan harga premium, Jadi warga senang,” ujarnya seraya menyebut nama produsen ban kesohor.
Pada 2013, setelah lima desa di sekitar Bujang Raba masuk dalam program perhutanan sosial, KKI Warsi dan masyarakat desa menjalin kerja sama dengan Plan Vivo untuk penghitungan, sertifikasi, hingga pemantauan simpanan karbon hutannya. Jangka waktu kemitraan berlangsung 10 tahun, namun hanya mencakup setengah dari total 14 ribu hektare hutan yang digarap.
“Stok karbonnya rata-rata 300-360 ton per hektare. Dari yang sudah disertifikasi Plan Vivo, kami dapat gambaran bahwa dalam sepuluh tahun pertama yang disertifikasi, dari 2013 sampai 2023, itu total ada 400 ribu ton karbon yang disimpan,” katanya.
Karena bersifat imbal jasa lingkungan, manfaat sertifikasi itu baru bisa dirasakan setelah ada lembaga yang mendonorkan dana ke Bujang Raba. 2019 tercatat sebagai tahun pertama hutan desa Bujang Raba memperoleh pembayaran. Besarnya Rp400 juta dan dibagi ke lima desa. Pendonor pertamanya adalah yayasan TUI Airways—maskapai penerbangan carter asal Inggris.
“Ada yang gunakan uangnya untuk rehabilitasi musala, ada perbaikan irigasi juga, dan lain-lain. Jadi, macam-macam penggunaannya mereka yang tentukan. Tapi, dari dana yang masuk ada alokasi 20 persen untuk mengelola lembaga hutan desa supaya zero deforestasi tetap bertahan,” ujarnya menambahkan bahwa pada 2020 dan 2021, uang yang mengalir bertambah menjadi masing-masing Rp1 miliar. “Yang memberikan pembayaran itu umumnya adalah individu. Semua dari luar negeri. Makanya dia enggak masuk ke offset. Lebih bentuk ke kepedulian lingkungan karena kesadaran mereka tinggi.”
Saat ini, Rudi mengaku masih mencermati kebijakan nilai ekonomi karbon yang dijalankan pemerintah. Jika skema pasar karbon wajib dengan pembatasan emisi di tiap sektor berjalan, bukan tak mungkin Bujang Raba dan beberapa hutan desa binaan lainnya akan masuk dalam perdagangan karbon di pasar dalam negeri. Bahkan, beberapa perusahaan seperti Melchor Group, katanya, sudah melakukan penjajakan. Harga karbon lebih mahal bisa menjadi insentif masyarakat untuk menjalankan proyek-proyek konservasi dan pengurangan emisi.
Kritik atas perdagangan karbon
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi punya pendapat lain tentang praktik di atas. Menurutnya, perdagangan karbon dan offset emisi merupakan skema keliru karena tidak efektif mengurangi emisi secara drastis dan cepat. Sebaliknya, ia memberi ruang bagi negara dan korporasi untuk mengelak dari tanggung jawab penurunan emisi dengan cara menghentikan penggunaan energi fosil serta moda produksi dan konsumsi yang tinggi emisi karbon.
“Perdagangan karbon dan offset emisi tidak lebih dari sekadar perampasan ruang hidup rakyat dengan kedok hijau serta menjadi skema greenwashing bagi korporasi perusak lingkungan," katanya.
Executive Director Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menjelaskan efektivitas perdagangan karbon di negara berkembang seperti Indonesia memang kerap menjadi perdebatan. Karena itu, pemerintah harus benar-benar memastikan skema carbon pricing benar-benar berkaitan dengan target penurunan gas rumah kaca yang ingin dicapai.
Langkah itu juga akan memudahkan banyak perusahaan penghasil emisi melakukan shadow pricing dan memasukan komponen biaya emisi dalam perencanaan keuangan dan strategi jangka panjangnya. Sebab, jika kuota emisi kian diperkecil dari tahun ke tahun, nilai ekonomi karbon akan menjadi lebih tinggi dan perusahaan mau tak mau harus mengubah perilakunya menjadi lebih ramah lingkungan.
Sebagai misal, ExxonMobil pada 2020 melepas 112 juta metrik ton CO2e dari kegiatan operasinya. Dengan harga karbon US$5 per ton di pasar sukarela, mereka hanya perlu merogoh kocek sekitar US$560 juta untuk dapat menghapus dosa tersebut—tak sampai 10 persen dari rata-rata laba perusahaan yang sebesar US$8 miliar dalam lima tahun terakhir.
Tetapi, bayangkan jika harga karbon di bursa berjangka mencapai US$100 per ton. Jika ExxonMobil tak segera mengurangi pelepasan emisi dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan itu bisa bangkrut seketika.
“Kita harus tahu dulu berapa emisi yang ingin kita turunkan, kemudian dari sana kita bisa hitung sektor apa saja yang berkontribusi terhadap emisi tersebut dan penurunan berapa besar dari sektor yang berkontribusi tadi. Termasuk kita bisa hitung biaya pengurangnya. Dengan menghitung itu semua kita bisa menghitung berapa kira-kira berapa harga minimal yang ideal,” ujar Fabby.