Jakarta , FORTUNE - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, mengungkit persoalan utang Indonesia yang sudah lunas kepada IMF. Hal tersebut ia sampaikan di tengah konferensi pers untuk menanggapi permintaan IMF agar Indonesia menghentikan kebijakan larang ekspor bahan baku.
Menurut Bahlil, IMF seharusnya tidak kembali mendikte Indonesia. Berbeda dari masa lalu ketika paket kebijakan yang mereka resepkan ke Indonesia jadi syarat pemberian utang.
"Kita harus berterima kasih pada pemerintahan sebelum Pak Jokowi, yaitu di zamannya Pak SBY, yang berhasil menyelesaikan utang kita ke IMF," ujarnya, Jumat (30/6) pekan lalu.
Ia bahkan menyebut berutang kepada IMF layaknya berutang kepada lintah darat. Sebab, menurutnya, banyak paket kebijakan ekonomi yang tidak sesuai dengan Indonesia.
"Dia sudah pernah menjadikan kita pasien yang gagal diagnosa. Apakah kita akan mengikuti dokter yang sudah membawa kita ke ruang rawat inap, dia masukkan kita ke ruang ICU? Ibarat orang sakit harusnya nggak operasi total, kemudian operasi total terus gagal," ujarnya.
Lantas berapa utang Indonesia ke IMF saat itu?
Mengutip pernyataan Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, keseluruhan utang Indonesia terhadap IMF mencapai US$9,1 miliar. Utang tersebut telah dilunasi pada 2006, atau empat tahun lebih cepat dari seharusnya.
“Sejak itu kita tidak lagi jadi pasien IMF,” kata SBY dalam akun resmi Twitternya pada 2018.
Percepatan pelunasan utang
Pada Oktober 2006, Bank Indonesia mengumumkan pelunasan sisa utang RI ke IMF senilai US$3,7 miliar. Jika pelunasan tidak dipercepat, sisa cicilan utang Indonesia ke IMF harusnya jatuh tempo pada 2010 dengan nilai US$7,5 miliar.
Indonesia masih harus mencicil utang pokok plus bunga ke IMF sekitar US$2 miliar setiap tahun.
Secara singkat, SBY memberi tiga alasan percepatan pembayaran utang kepada IMF itu. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang baik (di atas enam persen) sehingga aman secara fiskal dan moneter, IMF tidak bisa lagi mendikte Indonesia sehingga pemerintah dan rakyat tidak disandera mereka, dan selama Indonesia berutang pada IMF maka rakyat Indonesia akan terhina.
Ia memberi ilustrasi saat menjadi menteri pertambangan dan energi (1999-2000) di bawah pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Saat itu, ia diminta Consultative Group on Indonesia sebagai donor menaikkan secara bersamaan harga dasar listrik dan BBM dalam jumlah tinggi.
“Hal itu saya tolak, karena pasti ekonomi rakyat akan menjadi lebih buruk,” katanya.
Selama SBY memerintah, tiga pemimpin IMF dia terima di Kantor Kepresidenan, mulai dari Rodrigo de Rato (2007), Dominique Strauss-Kahn (2011), hingga Chistine Lagarde (2012).
Bahkan, pada kunjungan pemimpin IMF pada 2012, IMF berharap Indonesia bisa ikut menaruh dananya di IMF karena Indonesia telah menjadi anggota G20, dengan peringkat nomor 16 ekonomi besar dunia.
“Pasalnya, IMF kekurangan dana untuk digunakan membantu negara yang mengalami krisis berat dan perlu penyelamatan dari IMF. Artinya, tangan kita tidak lagi berada di bawah, tetapi sudah berada di atas,” demikian cuitan tersebut.