Jakarta, FORTUNE - Menteri ESDM Arifin Tasrif membeberkan ketentuan sanksi yang akan dikenakan kepada perusahaan batu bara yang tak memenuhi ketentuan Domestic Market Obligation (DMO). Nantinya pelanggaran tersebut akan diganjar denda yang formulanya tertuang dalam turunan Keputusan Menteri ESDM nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021.
"Turunannya kami siapkan. Jadi sanksi yang akan dilaksanakan denda itu adalah selisih harga pasar internasional dengan harga DMO dikali volume yang diekspor," ujarnya dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, Kamis (13/1).
Arifin juga mengatakan kementeriannya telah mengklasifikasi perusahaan batu bara berdasarkan jumlah pemenuhan kewajiban DMO-nya. Dari 578 perusahaan yang terdata, hanya ada 47 perusahaan yang bisa memenuhi ketentuan DMO-nya 100 persen lebih.
Kemudian 32 perusahaan hanya bisa memenuhi ketentuan pada rentang 75-100 persen, 25 perusahaan dengan kisaran 50-75 persen, dan 17 perusahaan dengan range 25-50 persen. "Lalu ada 27 perusahaan yang pemenuhan kewajibannya baru di range 1-25 persen. Dan ada 428 perusahaan yang nol," jelasnya.
Menurut Arifin, dari total 600 juta ton batu bara yang diproduksi dalam negeri, ada 40 persen atau sekitar 240 juta ton batu bara yang masuk dalam kategori spesifikasi yang dibutuhkan PLN. Jumlah tersebut di atas kebutuhan pemakaian batu bara untuk pembangkit PLN yang rata-rata mencapai 10 juta ton per bulan.
"Jadi ini sebetulnya akses volumenya banyak tapi waktu itu memang sudah siap dilempar ke pasar luar. Karena itu kita melakukan pengereman drastis untuk bisa mendeteksi mana yang spesifikasinya bisa kita hold kemudian bisa kita realokasi. Ini langkah yang kita ambil," jelasnya.
Selanjutnya, tongkang-tongkang bermuatan batu bara ekspor dengan klasifikasi yang tak sesuai kebutuhan PLN diaudit kewajiban pemenuhan DMO-nya. Karena sebagiannya telah memenuhi ketentuan, pemerintah memutuskan untuk membolehkan kapal-kapal tersebut berangkat ke luar.
"Kami lihat juga apakah pemilik material ini memiliki DMO apa enggak. Kalau dia memiliki, kita lihat berapa banyak dia memenuhi. Kalau memang pemenuhannya 25 persen kita enggak akan berikan (izin berangkat). Yang kami berikan perusahaan yang memiliki lebih 100 persen kewajibannya. Tentu saja ini memerlukan waktu yang intens untuk bisa mengklasifikasikan tersebut," tuturnya.
Langkah Tangani Krisis
Arifin juga menyampaikan berbagai langkah yang dilakukan Kementerian ESDM sebelum pemerintah memutuskan kebijakan larangan ekspor batu bara. Setelah mengkonfirmasi adanya krisis energi primer tersebut sejak Agustus lalu, pemerintah mulai memberikan sanksi tegas kepada pengusaha yang tak memenuhi ketentuan DMO.
Belakangan diketahui pula bahwa krisis tersebut juga terjadi pada pasokan LNG yang jadi bahan bakar pembangkit penyangga. "Yang dilakukan Kementerian ESDM bersama kementerian lembaga terkait, pada saat terinformasi adanya krisis energi primer kami langsung lakukan pengamanan suplai LNG jadi kami membelokkan yang harusnya kontrak keluar kami tarik ke dalam," tuturnya.
"Ada lima kargo yang dibutuhkan di Januari yang biasanya PLN membutuhkan hanya 4 kargo jadi ada tambahan ini juga akibat akumulasi shortage yang terjadi beberapa waktu sebelumnya," sambung Arifin.
Selanjutnya, kementerian mengirim dua tim ke lapangan pada awal Januari 2022. Kelompok pertama, yang berasal dari Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, diberangkatkan untuk meninjau sarana penyimpanan di 10 PLTU yang kritis dan mengkonfirmasi kondisi ketersediaan stok. "Ternyata cukup kritis (pasokannya). Kemudian dari 10 PLTU, berkembang jadi 17 pembangkit yang kritis," papar Arifin.
Tim kedua yang diberangkatkan setelah dibentuk dengan kerja sama antara Ditjen Minerba Kementerian ESDM dengan Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dan BPKP.
Mereka bertugas mengecek langsung pasokan batu bara di pelabuhan ekspor yang ada di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sumatera. "Demikian juga (kerja sama) dengan Departemen Perhubungan laut untuk mengetahui berapa jumlah tongkang dan kapal-kapal besar yang jumlahnya ratusan," imbuhnya.
Setelah ekspor dihentikan dan PLN melakukan berbagai langkah pengamanan stok batu bara, Kementerian ESDM kembali mendata jumlah pasokan di tiap pembangkit. Dari situ lah pemerintah bisa ambil kesimpulan bahwa sejak 10-11 Januari, pasokan sebanyak 15 juta ton untuk PLTU berlokasi strategis dengan kapasitas besar bisa diamankan.
Hingga kemarin malam, tutur Arifin, total pasokan yang telah diamankan terkonfirmasi sebesar 16,3 juta ton. "Sampai akhir Januari kita pastikan bisa diamankan. Untuk yang jauh kita kasih batas harus dipenuhi dulu stok 20 hari. Dari hasil kemarin malam sudah ada statement PLN, sudah bisa meyakinkan. Karena kontraknya juga ditutup. Ini langkah yang kami ambil," tegasnya.
Atas laporan terpenuhinya ketersediaan stok, pemerintah segera membahas soal pencabutan larangan ekspor. Selain untuk mengamankan penerimaan negara dari ekspor, pencabutan larangan juga dilakukan karena adanya desakan dari negara mitra dagang.
"Terutama untuk mendukung kebutuhan negara sahabat yang rata-rata teriak semua mulai dari Korea, Filipina, Jepang dan China. Semua menyampaikan keprihatinannya dan meminta dukungan kita. Tapi yang DMO-nya di bawah 50 persen, apalagi under perform, ini tetap kenakan sanksi," pungkas Arifin.