Jakarta, FORTUNE - Mahkamah Konstitusi memperbolehkan debitur mengajukan permohonan kasasi usai diputus pailit akibat gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan Rabu (15/12) menyatakan hak mengajukan proses hukum tingkat kedua atau kasasi ke Mahkamah Agung itu bisa dilakukan jika PKPU diajukan oleh kreditur, bukan oleh debitur secara sukarela.
Selain itu, kata Anwar, Pasal 293 ayat 1 Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan UUD 1945 serta tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Sepanjang tidak dimaknai diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditur dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitur," ujarnya dalam sidang yang ditayangkan melalui kanal YouTube Mahkamah Konstitusi, dikutip Kamis (16/12).
Sebagai informasi, putusan ini muncul atas uji materi yang diajukan perusahaan asal Batam, yakni PT Sarana Yeoman Sembada. Diwakili Sanglong alias Samad, yang merupakan Direktur Utama perusahaan tersebut, pemohon menguji norma dalam Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU.
Dalam gugatannya, Samad menyebut pasal tersebut merugikan karena tidak adanya upaya hukuman apa pun bagi pemohon untuk memperoleh keadilan. Padahal, dalam tiap perkara PKPU, ada potensi ketidaktelitian Majelis Hakim dalan memeriksa, mengadili, serta memutus perkara.
Pertimbangan Lainnya
Dalam putusannya, majelis hakim juga menilai bahwa permohonan PKPU yang semula adalah instrumen bagi debitur menghindari adanya kepailitan pada kenyataannya tidak adil bagi debitur. Sebab, akibat pailit tersebut tidak dapat dihindari apabila permohonan PKPU diajukan oleh kreditur dan tidak diperoleh adanya perdamaian.
Padahal, dalam perspektif perdamaian a quo merupakan instrumen fundamental yang jadi parameter keberhasilan permohonan PKPU. "Sebab tujuan yang paling hakiki dimohonkannya PKPU adalah untuk mencapai kesepakatan antara kreditur dan debitur dalam rencana menyelesaikan utang debitor tersebut," teranf Anwar.
Karena itu, kesepakatan perdamaian atas rencana penyelesaian utang dan restrukturisasi utang debitur lah yang mengetahui secara pasti tentang keadaan kemampuan keuangannya yang kemudian dijadikan bagian pada klausula-klausula dalan mengajukan Skema pembayaran pada kreditur. Meskipun kesepakatan penyelesaian itu diketahui oleh kedua belah pihak.
"Dengan demikian filosofi permohonan PKPU secara natural awalnya adalah hak dari debitur berkenaan dengan argumentasi bahwa hanya debitur lah yang mengetahui kemampuan pembayaran atas utang-utangnya," sambungnya.
Oleh karena itu persoalan mendasar yang harus diuraikan oleh Mahkamah selanjutnya adalah berkenaan dengan permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditur.