Jakarta, FORTUNE - Mahkamah Konstitusi (MK) meminta dosen atau tenaga pendidik di perguruan tinggi tidak diberikan tugas administrasi yang berlebihan sehingga dapat lebih berfokus dalam mengembangkan kemampuan akademiknya secara optimal.
Hal tersebut disampaikan Hakim Konstitusi, M. Guntur Hamzah, saat membacakan putusan atas uji materiil (judicial review) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam Sidang Pengucapan Putusan MK yang digelar pada Jumat (14/4).
MK tetap menolak gugatan uji materiil atas UU Guru dan Dosen yang sebelumnya diajukan para pemohon yakni Gunawan Tauda dan Abdul Kadir Bubu, yang keduanya merupakan dosen.
Dalam gugatan tersebut dua pemohon mendalilkan pemaknaan pasal Pasal 51 ayat (1) UU Guru dan Dosen—yang berkaitan dengan persoalan penghasilan bagi dosen yang bertugas melaksanakan tugas belajar— diwujudkan dengan penghentian sementara pembayaran tunjangan profesi dosen terhitung sejak 2009 hingga 2022.
Akibatnya, para pemohon kehilangan hak keuangannya, sedangkan mereka dalam masa tempuh studi lanjutan pada sejumlah perguruan tinggi di Indonesia atau berstatus tugas belajar (tubel).
Penafsiran semata ini, menurut para pemohon, tidak didasarkan pada kepentingan terbaik para dosen yang diberi tugas belajar, terutama bagi para dosen yang sedang atau akan menempuh studi lanjut dengan biaya sendiri, parsial, ataupun beasiswa demi menunjang kelancaran dan proses penyelesaian studi.
Padahal dosen pegawai pelajar pada semua perguruan tinggi negeri ini tetap dibebankan kewajiban untuk melakukan pengisian Beban Kerja Dosen. Sehingga, sepanjang dosen pegawai pelajar yang bersangkutan tetap melakukan hal tersebut, maka dapat dikategorikan memenuhi ketentuan perundang-undangan beban kerja dosen dan ia pun seharusnya dapat tetap diberikan tunjangan sertifikasi dosen.
Pertimbangan MK tolak gugatan
MK dalam pertimbangan atas putusannya menilai bahwa pemaknaan Pasal 51 ayat (1) secara normatif telah mengakomodir berbagai jenis penghasilan, baik bagi dosen yang tidak bertugas belajar maupun bagi dosen yang melaksanakan tugas profesional dalam rangka tugas belajar.
Guntur mengatakan undang-undang tersebut juga telah mengatur hak dosen dalam menjalankan keprofesionalannya, yakni berhak memperoleh penghasilan atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai hak dosen tersebut telah diatur melalui peraturan teknis di bawahnya.
Lebih lanjut, sambung Guntur, dalam perumusan norma Pasal 51 ayat (1) UU Guru dan Dosen sama sekali tidak diatur mengenai penghentian tunjangan profesi dosen. Justru secara normatif pasal yang diuji memberikan dasar hukum untuk menjamin para dosen tetap memperoleh hak keuangannya yang diberikan sesuai peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya telah memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
“Lebih-lebih lagi, ternyata tunjangan fungsional dosen tetap dibayarkan sehingga pemenuhan hak keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU a quo tetap terjamin serta diperlakukan sama dan berkeadilan,” ucap Guntur membacakan Putusan Nomor 111/PUU-XX/2022 tersebut sebagaimana termaktub dalam situs web resmi MK.
Secara konkret, tunjangan profesi yang dihentikan yang dialami oleh para pemohon, tidak serta-merta dihentikan. Mahkamah berpendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 huruf d Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 466, (Permenpan 17/2013), tunjangan profesi bagi dosen tugas belajar baru dihentikan setelah dosen yang bersangkutan menjalani tugas belajar lebih dari enam bulan secara terus-menerus.
“Dengan demikian, terhitung mulai bulan ketujuh tunjangan profesi dihentikan. Tunjangan profesi dihentikan bukan karena tugas belajar semata, tetapi juga karena sebab lain seperti diberhentikan sementara dari PNS, ditugaskan secara penuh di luar jabatan akademik dosen, menjalani cuti di luar tanggungan negara. Lebih lanjut, sebagaimana perintah UU 14/2005, pengaturan mengenai hak dosen khususnya terkait dengan hak keuangan dosen dalam melaksanakan tugas belajar diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan teknis di bawah UU a quo,” jelas Guntur.
Selanjutnya, Guntur menambahkan, bagi dosen yang telah menyelesaikan pendidikan dimaksud, tunjangan profesi dosen yang sebelumnya hanya diberikan selama 6 (enam) bulan akan dibayar setelah diaktifkan kembali ke dalam jabatan akademik dosen. “Dengan demikian, dosen yang telah menyelesaikan tugas belajar dan aktif kembali menjalankan profesi akademisnya, dibayarkan kembali tunjangan profesi dosen (sertifikasi dosen),” paparnya.
Karena itu, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan, "dalil para pemohon merupakan persoalan implementasi norma bukan persoalan konstitusionalitas norma,” kata Guntur.