Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi pembiayaan utang per Oktober 2022 turun 21,7 persen dibanding periode sama tahun lalu (year-on-year/yoy) menjadi Rp506 triliun.
Secara perinci realisasi pembiayaan utang per Oktober 2022 berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto senilai Rp500,3 triliun atau turun 25,2 persen (yoy) serta pinjaman neto Rp5,7 triliun atau terkontraksi 125,2 persen (yoy).
Ia berharap, tren penurunan pembiayaan utang tersebut bisa mendukung konsolidasi fiskal yang dilakukan pemerintah.
"Ini berarti Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) mulai semakin sehat karena kami sudah mulai melakukan konsolidasi," ujarnya dalam Konferensi Pers APBN KITA, Kamis (24/11).
Menurut Bendahara Negara, kinerja pengelolaan pembiayaan utang dijaga untuk menghadapi kondisi pasar keuangan yang bergejolak dengan tren peningkatan suku bunga dan tingginya fluktuasi nilai tukar rupiah.
Beberapa langkah antisipatif yang dijalankan pemerintah di antaranya adalah menurunkan penerbitan utang tunai melalui lelang pada triwulan IV dengan mempertimbangkan kondisi kas pemerintah serta mengoptimalkan penerbitan SBN domestik dalam rangka Surat Keputusan Bersama (SKB) III.
"Penerbitan SBN ritel juga dioptimalkan dalam rangka perluasan basis investor dan fleksibilitas pinjaman program dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam mengantisipasi volatilitas pasar keuangan," jelasnya.
Realisasi pembelian SBN oleh BI
Hingga saat ini, terang Sri Mulyani, realisasi pembelian SBN oleh BI per 18 November 2022 meliputi SKB I sebesar Rp46,91 triliun yang terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) Rp23,54 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp23,39 triliun serta SKB III Rp95,42 triliun.
Rata-rata imbal hasil tertimbang penerbitan SBN SKB I tercatat 7,08 persen dan rata-rata maturitas tertimbang 18,36 tahun. "Sementara sisa target SKB III sebesar Rp128,6 triliun akan diterbitkan bulan Desember 2022," tuturnya.
Sebelumnya, pemerintah memproyeksikan penarikan utang untuk APBN 2022 mencapai Rp757,5 triliun. Sementara di tahun depan, rencananya pemerintah akan menarik utang baru atau pembiayaan utang sebesar Rp696,3 triliun tahun depan.
“Tahun 2023 merupakan masa penguatan pemulihan ekonomi sekaligus tahun diterapkannya kembali disiplin defisit anggaran di bawah batasan 3 persen terhadap PDB atau kebijakan konsolidasi fiskal,” seperti dikutip Fortune Indonesia dalam Buku II Nota Keuangan dan RAPBN 2023, Selasa (16/8).
Berkaca dari catatan beberapa tahun ke belakang, pembiayaan utang terbesar terjadi pada 2020, yakni Rp1.229,6 triliun. Pada tahun tersebut, Indonesia mengambil langkah darurat untuk menangani pandemi Covid-19. Saat itu defisit anggaran juga melebar menjadi 6,14 persen lebih tinggi dari batasan defisit dalam kondisi perekonomian normal, yaitu maksimal 3 persen terhadap PDB.
Namun untuk tahun selanjutnya, penarikan utang oleh Indonesia berangsur menurun, dari Rp870,5 triliun pada 2021, kemudian outlook 2022 menjadi Rp757,6 triliun.
Pembiayaan utang berfungsi untuk menutup defisit anggaran dan membiayai pengeluaran pembiayaan, seperti pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, serta kewajiban penjaminan. Pemerintah memproyeksi kondisi perekonomian akan membaik, sehingga pembiayaan utang tahun depan akan mengalami penurunan.