Jakarta, FORTUNE - Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan pemerintah bakal segera mengatur tata cara pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi melalui Peraturan Presiden (Perpres). Aturan terkait penunjukan teknis pembelian BBM tersebut akan menyasar jenis Pertalite dan Solar agar penyalurannya dapat lebih tepat sasaran.
Selain mekanisme pembelian, beleid tersebut juga akan merumuskan formula penyesuaian harga BBM di tengah fluktuasi minyak dunia serta peralihan konsumen dari BBM subsidi ke BBM non-subsidi akibat disparitas harga.
"Di dalam Perpres tersebut tidak hanya BBM jenis Pertalite yang akan disempurnakan, satu lagi yang lebih krusial BBM jenis solar karena solar masih disubsidi meskipun subsidi per liter, tetapi harganya masih sangat murah kalau dibandingkan dengan solar nonsubsidi," ujarnya dalam acara CNBC Energy Corner, Senin (30/5).
Sebagai informasi, saat ini harga solar bersubsidi hanya dijual Rp5.100 per liter, sedangkan harga solar nonsubsidi sudah mencapai hampir Rp13.000 per liter. Djoko mengungkapkan salah satu penyebab melebarnya disparitas BBM subsidi dengan harga pasar itu adalah perang Ukraina dengan Rusia.
Di dalam negeri harga minyak dunia terkhusus gasoline telah mengerek harga Pertamax dari level Rp9 ribuan menjadi Rp12.500 per liter.
Namun, lantaran hingga saat ini pemerintah belum menaikkan harga Pertalite, konsumen Pertamax beralih menggunakan BBM subsidi seperti Pertalite.
Situasi itu yang membuat beban keuangan Pertamina semakin berat karena perseroan harus melakukan impor sekitar 50 persen untuk bensin dengan harga yang tinggi, sementara harga jual produknya justru tidak naik sesuai harga keekonomian.
"Dua hal ini yang akan diatur lebih lanjut oleh Perpres yang baru tersebut," kata Djoko.
Aturan untuk Solar diprioritaskan
Meski demikian, menurut Djoko, di awal kebijakan baru tersebut pemerintah masih memprioritaskan aturan tentang tata cara pembelian solar ketimbang Pertalite. Ini lantaran BBM jenis Solar digunakan tidak hanya oleh kendaraan bermotor, tetapi industri-industri pertambangan dan perkebunan, hingga kapal-kapal besar.
Kondisi ini berbeda dengan Pertalite di mana pergeseran konsumsi hanya terjadi pada konsumen pengguna kendaraan pribadi.
Dalam kesempatan tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto kuga menyampaikan bahwa parlemen telah bertemu dengan PT Pertamina (Persero) dan BPH Migas membicarakan terkait aturan pembelian BBM bersubsidi ini.
Dalam pertemuan itu, ungkapnya, Pertamina mengharapkan agar aturan pembelian bisa ditata supaya penyaluran BBM subsidi dan penugasan bisa lebih tepat sasaran.
"Ketika harga Solar yang tidak disubsidi semakin meningkat, artinya disparitas semakin tinggi, ini semakin rawan, sehingga solar harus diatur. Kemudian ketika menyusul Pertamax ikut naik terjadi hal yang serupa ada gap yang tinggi antara Pertalite dan Pertamax," ujar politisi PKS tersebut.
Pemerintah juga tengah merumuskan konsumen yang berhak menerima BBM bersubsidi. Saat ini,, secara umum yang berhak menerima BBM bersubsidi adalah usaha kecil, usaha mikro, petani kecil lahannya di bawah dua hektare, dan kendaraan umum.
Pun demikian, dalam berbagai forum, Mulyanto mengaku cenderung mengusulkan agar pemerintah memperketat pembelian Pertalite, di mana mobil mewah maupun mobil dinas tidak diperbolehkan menggunakan Pertalite termasuk juga Solar.
"Kami arahkan agar pembelian lebih tepat sasaran kepada yang membutuhkan. Jadi, itu urgensinya," pungkasnya.