Jakarta, FORTUNE - Pemerintah tengah mengkaji kebijakan ekstensifikasi cukai untuk mengendalikan konsumsi sejumlah komoditas. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan beberapa barang yang bakal dikenakan cukai dalam waktu dekat adalah pelastik dan minuman berpemanis dalam kemasan.
Namun, di luar itu, pemerintah juga tengah mengkaji pengenaan cukai untuk bahan bakar minyak (BBM), detergen dan ban karet. "Kami melakukan persiapan terus untuk pelastik dan juga minuman berpemanis dalam kemasan. Yang sedang kita kaji adalah beberapa konteks kedepan dalam pengendalian konsumsi seperti BBM ban karet dan detergen," ujarnya dalam rapat di Badan Anggaran DPR, Senin (13/6).
Febrio menjelaskan, selama ini penerimaan cukai masih didominasi oleh cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok. Selain itu, ada pula cukai ethyl alcohol dan minuman mengandung alkohol (MMEA) seperti bir, anggur, gin, whiskey, dan sebagainya.
Padahal, kata Febrio, banyak barang yang konsumsinya dapat dikendalikan dengan instrumen cukai karena dapat menimbulkan efek buruk. Selain itu pengenaan cukai pada barang-barang tersebut juga bisa menambah penerimaan negara dari sisi perpajakan.
"Bapak ibu sekalian memahami sekali bahwa untuk kepabeanan dan cukai didominasi penerimaan CHT," tuturnya dihadapan anggota parlemen.
Adapun untuk kapabean secara umum, pemerintah telah menggelontorkan banyak insentif sepanjang 2020-2021. Bahkan beberapa insentif juga berlanjut di tahun ini khususnya yang terkait dengan kesehatan "Terutama dalam menghadapi pandemi. Terakhir tentunya ke arah vaksin, dan ini sudah sangat termanfaatkan dengan baik," ujarnya.
Di tahun depan, kebijakan kapabean dan cukai akan difokuskan pada tema utama logistik dan kemudahan bagi masyarakat. Hal ini menurutnya perlu untuk terus ditingkatkan karena terkait dengan biaya logistik di Indonesia yang tergolong mahal.
"Harmonisasi kebijakan, peningkatan efektivitas optimalisasi kerja sama internasional di bidang kepabeanan dan cukai juga kita lakukan," jelasnya.
Optimalisasi penerimaan pajak
Dalam kesempatan tersebut, Febrio juga menyampaikan pentingnya mengatur strategi untuk mengamankan penerimaan perpajakan di tengah kondisi ketidakpastian global.
Karena itu, insentif fiskal yang digelontorkan pemerintah harus dipertajam untuk kegiatan ekonomi strategis, memiliki multiplier yang kuat bagi perekonomian dan juga berkeadilan.
"Secara umum di tengah ketidakpastian yang sedang terjadi, kita menghadapi tantangan besar. Tapi kebijakan umum di 2023 adalah tetap melanjutkan tren peningkatan dan menjaga efektivitas implementasi dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan," jelasnya.
Kemudian, penggalian potensi penerimaan terus dilanjutkan, dibarengi dengan penguat pengawasan dan penegakan hukum terus menerus.
Lalu, dalam konteks menjaga iklim investasi, pemerintah akan memastikan bahwa basis pemajakan terus meningkat. Dus program pengampunan pajak sukarela (PPS) dan implementasi NIK sebagai NPWP ini akan dilakukan untuk memperkuat basis pemajakan.
"Kemudian ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah berbasis kewilayahan. Kita akan lihat juga bagaimana prioritas pengawasan, juga terhadap high wealth individual itu sangat tajam," imbuhnya.
Terakhir, percepatan reformasi di bidang sumber daya manusia juga akan terus dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
"Ada juga core tax system, lalu perluasan kanal pembayaran, penegakan hukum berkeadilan, pemanfaatan kegiatan digital forensik, dan insentif fiskal itu harus terus tumbuh dan semakin terukur tentunya ditujukan untuk pertumbuhan sektor tertentu dan memberikan kemudahan investasi," tandasnya.