Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani optimistis pendapatan per kapita Indonesia akan mencapai US$29.300 pada 2045. Ia juga yakin struktur ekonomi RI akan didominasi oleh sektor produktif ketika republik ini genap berusia satu abad.
Masalahnya, hal itu hanya bisa tercapai via terobosan kebijakan pemerintah, terutama dalam penciptaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi, dan peningkatan kemampuan adopsi teknologi.
Selain itu, pembangunan daerah juga harus lebih baik. Kebijakan ekonomi yang lebih memadai baik dari sisi sumber daya, stabilitas makro, maupun stabilitas politik. "Ini perlu didukung kebijakan ekonomi yang baik di mana tidak hanya tergantung pada natural resources namun juga resources yang berkelanjutan," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Kamis (7/10).
Optimisme Sri Mulyani memang tidak berlebihan. Pasalnya, pada 2045 Indonesia diproyeksikan memiliki komposisi penduduk dengan jumlah 309 juta orang yang 52 persen di antaranya berusia produktif. Kemudian, 75 persen masyarakat akan hidup di perkotaan, serta 80 persen masyarakatnya berpenghasilan menengah.
Namun, pandemi Covid-19 telah membuat upaya untuk mencapai target tersebut menjadi lebih sulit. Tahun lalu, Bank Dunia dalam laporan "World Bank Country Classifications by Income Level: 2021-2022”, menyebutkan pendapatan per kapita Indonesia turun dari US$4.050 pada 2019 menjadi US$3.870.
Penurunan pendapatan per kapita ini membuat Indonesia kembali masuk pada kategori negara berpendapatan menengah bawah (lower middle-income country). Berdasarkan estimasi Bank Dunia, ambang batas minimal untuk sebuah negara masuk menjadi upper middle-income country (UMIC) tahun ini naik menjadi US$4.096.
Penyebab Pendapatan Per Kapita Turun
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan penurunan pendapatan per kapita Indonesia itu merupakan sebuah konsekuensi yang tidak terhindarkan dari terkontraksinya pertumbuhan ekonomi hingga -2,1 persen tahun lalu. Padahal, sebelum pandemi, Indonesia tengah berada dalam tren yang kuat dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.
Meski demikian, menurut Febrio, kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun lalu masih relatif moderat. Ini tak lepas dari dukungan kebijakan fiskal yang akomodatif serta kerja keras pemerintah dalam mengoptimalkan instrumen APBN.
Melalui penguatan perlindungan sosial, serta dukungan bagi dunia usaha, termasuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN), pemerintah dapat menjaga konsumsi kelompok masyarakat termiskin selama pandemi. "Masyarakat miskin dan rentan tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan tingkat kemiskinan mampu dikendalikan menjadi 10,19 persen pada September 2020," ucapnya.
Bank Dunia sendiri mengestimasi angka kemiskinan Indonesia pada 2020 dapat mencapai 11,8 persen jika tidak ada program PEN. Hal ini menunjukkan bahwa program PEN telah mampu menyelamatkan lebih dari 5 juta orang dari kemiskinan pada tahun 2020.
Bahkan, program PEN mampu mendorong pemulihan ekonomi dengan menciptakan 2,61 juta lapangan kerja baru pada kurun September 2020 hingga Februari 2021.
“Pandemi masih memberikan ketidakpastian yang tinggi terhadap ekonomi. Oleh karena itu, saat ini pemerintah akan fokus melakukan berbagai langkah yang responsif agar pandemi dapat semakin terkendali dan langkah pemulihan ekonomi dapat terus berjalan. Percepatan vaksin, penguatan 3T, disiplin protokol kesehatan hingga pemberian perlindungan sosial akan terus dilakukan hingga kasus terkendali," ujar Febrio.