Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan ihwal pengenaan pajak atas natura yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pasalnya, beleid ini sering disalahpahami dan dianggap memeberatkan wajib pajak orang pribadi khusunya karyawan.
Pajak atas natura sendiri menyasar fasilitas yang diberikan perusaahan kepada pegawai dan merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut. Namun, tak semuanya dapat dikategorikan sebagai objek pajak.
Dalam UU HPP sendiri, natura yang bukan termasuk penghasilan antara lain penyediaan makan dan minum bagi seluruh pegawai, natura di daerah tertentu, natura karena kebutuhan pekerjaan, natura yang berasal dari APBN/APBD, serta natura dengan jenis dan batasan tertentu.
"Kita bisa dapat fasilitas dari perusahaan yang tidak dalam bentuk uang tapi nilai uangnya besar entah itu perjalanan naik jet pribadi, kemudian credit card yang tidak terbatas, itu semuanya bisa dikuantifikasi," jelasnya dalam sosialisasi UU HPP di Jawa Tengah, Kamis (10/3).
Dalam hal natura karena kebutuhan pekerjaan, ia menuturkan bahwa sebelumnya terjadi kesimpangsiuran di mana fasilitas kantor seperti laptop dan hanphone juga akan menjadi objek pajak. Padahal, kata Sri Mulyani, barang-barang seperti itu tak akan jadi sasaran pemungutan pajak natura.
"Sempat keluar di media sosial, Sri Mulyani sekarang kalau orang dikasih laptop perusahaan juga dipajakin. Enggak juga lah, masa laptop dipajakin," tuturnya.
Di sisi lain, pajak natura sendiri dikenakan untuk memberikan asas keadilan di mana pegawai yang mendapatkan fasilitas bernilai besar dan turut mengerek pendapatan harus dikenakan pajak lebih tinggi pula.
"Tapi kalau naturanya gede-gede, ada juga kan sekarang yang di medsos anak-anak yang baru umur 2 tahun sudah diberi hadiah pesawat, bukan pesawat-pesawatan ya, pesawat beneran, sama orang tuanya. Jadi memang di Indonesia ada crazy rich dapat fasilitas luar biasa besar itu lah yang dimasukin ke perhitungan perpajakan, itu yang disebut aspek keadilan," ucap Bendahara Negara.
Fungsi UU HPP
Dalam kesempatan tersebut, Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan UU HPP merupakan salah satu bagian reform perpajakan yang dilakukan pemerintah. Tujuannya, memberikan pondasi menjaga keadilan bagi seluruh wajib pajak.
"Misalnya tarif terendah PPh 5 persen yang tadinya rentangnya sampai Rp50 juta, sekarang di HPP jadi Rp60 juta dan penghasilan di atas Rp5 miliar bracketnya diubah menjadi 35 persen," jelasnya.
Ia juga menyampaikan agar wajib pajak yang belum melaporkan hartanya hingga tahun pajak 2020 mengikuti program pengungkapan pajak sukarela (PPS). Pasalnya, program ini memberik tarif yang berbeda dari 6 persen hingga 18 persen yang berlangsung hingga 30 Juni 2022.
Ia juga menjelaskan soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di mana ada pengecualian objek dan fasilitas PPN hingga kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen terhitung pada 1 April 2022 mendatang. Ada pula pajak karbon dengan tarif sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atas emisi yang dikeluarkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).