Jakarta, FORTUNE - Direktur Utama PT Pertamina Kilang Internasional, Taufik Aditiyawarman, mengatakan perusahaannya tengah mengembangkan killang generasi kedua yang dapat menggunakan minyak jelantah sebagai bahan baku (feedstock) BBM ramah lingkungan.
Ia mengatakan fasilitas dibutuhkan untuk mengatasi masalah ketersediaan suplai dan harga bahan baku produk bahan bakar nabati atau Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) dan Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau Bioavtur.
"Kami memang sedang mengembangkan second generation untuk green fuel yaitu generasi berikutnya dimana nanti ada multiple feedstock ada flexibility dari multiple feedstock, bisa dari used cooking oil atau minyak jelantah," ujarnya dalam diskusi bertajuk "Mengupas Sektor Rancang Bangun Industri Menuju Net Zero Emission di Indonesia", Selasa (14/11).
Taufik mengatakan saat ini Pertamina telah memiliki dua green refinery yang dapat memproduksi produk-produk ramah lingkungan seperti HVO dan SAF. Di Kilang Cilacap dan Dumai, misalnya, Pertamina dapat memproduksi HVO masing-masing 1.000 barel per hari (bph) dan 3.000 bph.
Namun, hingga saat ini, salah satu tantangan yang dihadapi kilang tersebut adalah ketersediaan feedstock.
"Termasuk untuk SAF. SAF itu dari inti CPO. kernel oilnya itu yang jadi signifikan faktor terhadap biaya atau ongkos per liternya apabila dijual ke publik, ke masyarakat," jelasnya.
Dimulai untuk Formula-E
Pengembangan produk HVO dan SAF sendiri merupakan salah satu langkah strategis Pertamina dalam mendukung transisi energi nasional. Apalagi, di pasar luar negeri, trend permintaan energi hijau seperti HVO dan SAF mulai tumbuh di berbagai negara.
HVO Pertamina pertama kali digunakan di ajang Jakarta E-Prix 2022 Pertamina berkomitmen memberikan pasokan green energy untuk keperluan produksi listrik Genset untuk charging EV selama berlangsungnya event Formula E di Jakarta.
"Memang produk yang sudah kami produksi di Cilacap, HVO penggunaannya pas awal itu adalah E-Formula untuk Power Generation, karena mereka mewajibkan fuel power generationnya, atau gensetnya itu yang murni dari green 100 persen diesel, kemudian sisanya hasil produksi batch pertama ada yang offtake untuk diekspor ke Eropa untuk diblending," jelasnya.
Namun, menurutnya, untuk dapat memproduksi biofuel yang lebih murah, bahan baku yang digunakan berbeda dengan yang digunakan untuk HVO dan SAF. "Mungkin kalau HVO itu analoginya dengan biodiesel, mungkin dengan FAME lebih kompetitif untuk pasar Indonesia. Namun, dari segi kualitas, yang namanya HVO stability daripada BBM lebih baik, termasuk SAF 2,4 yang baru-baru ini diuji coba dengan Garuda Indonesia untuk pesawat Boeing," jelasnya.
Untuk itulah masalah fleksibilitas bahan baku harus segera diselesaikan baik untuk pengolahan skala besar maupun kecil.
"Pertanyaannya apakah bisa (pengolahan) dengan skala kecil? Skala kecil yang saya bayangkan tidak serumit processing requirement yang ada di kilang. Namun, selama itu feedstock dari crude palm oil, itu harus kita cari solusinya," ujarnya.