Jakarta, FORTUNE - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan rasio pajak daerah masih belum mencapai kondisi ideal sejak era otonomi daerah desentralisasi fiskal. Tercatat, rasio pajak dan retribusi daerah (PDRD) terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) berada di angka 1,2 persen pada 2020.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astrea Primanto Bhakti mengatakan posisi tersebut juga mengalami penurunan dibandingkan sebelum pandemi. Pada 2016, rasio PDRD terhadap PDRB berada di angka 1,35 persen. Kemudian, pada 2017 rasio pajak daerah meningkat menjadi 1,42 persen dan stagnan di level yang sama hingga 2019.
"PDRD rasionya terhadap PDRB makin meningkat walaupun tipis-tipis, di 2020 karena Covid-19 turun," ujar Astera dalam acara Media Briefing, Rabu (15/12). "tax ratio ini menggambarkan penggalian pajak daerah belum optimal," imbuhnya.
Menurut Astera, Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) yang baru saja disahkan di DPR pekan lalu akan menjadi alat penting untuk mengoptimalkan penggalian tersebut. Salah satunya, melalui simplifikasi jenis pajak daerah dan retribusi daerah.
Dalam beleid tersebut, jenis pajak daerah yang semula 16 jenis dikurangi menjadi 14 jenis, sedangkan jenis retribusi daerah dipangkas dari 32 menjadi 18 jenis saja. Dengan cara ini, harapannya Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Dinas Perpajakan dan Retribusi Daerah tidak perlu mengelola banyak jenis pajak secara bersamaan. "Simplifikasi bukan berarti ada objek yang hilang, melainkan objek yang sejenis digabungkan," ujar Prima.
Salah satu contoh simplifikasi itu adalah digabungkannya pajak hotel, pajak makanan dan minuman, pajak penerangan jalan, pajak hiburan, serta pajak parkir dalam satu jenis pajak baru yakni pajak barang dan jasa tertentu (PBJT).
Dengan adanya pengurangan jenis pajak dan retribusi tersebut, diharapkan biaya kepatuhan (compliance cost) dan biaya administrasi (administration cost) dapat ditekan dan kepatuhan wajib pajak bisa meningkat.
"Ada daerah yang pendapatan pajaknya kalau dibandingkan dengan biaya kepatuhannya kadang-kadang terlalu dekat, jadi net-nya tipis. Ini harus dilakukan restrukturisasi, harapannya administration cost dan compliance cost turun," ujarnya
Selain simplifikasi jenis, ada pula perluasan basis pajak melalui sinergitas pajak pusat dan daerah seperti valet parking, objek rekreasi dan lain-lain, serta pemberian opsen pajak provinsi dan kabupaten/kota seperti PKB, BBN-KB, dan MBLB sebagai penggantian skema bagi hasil dan penyesuaian kewenangan.
Masalah Lain
Di luar rendahnya rasio pajak daerah, masalah lain yang terjadi sejak era desentralisasi fiskal juga mencakup empat hal. Pertama, pemanfaatan dan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang belum optimal. Astra menyebut, salah satu indikatornya adalah besarnya penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk belanja pegawai. Bahkan ada daerah yang belanja pegawainya mencapai 64,38 persen di APBD.
Selain itu, terdapat pula ketergantungan daerah yang begitu besar kepada Dana Alokasi Khusus (DAK). "Jadi seolah-olah kalau enggak dapat DAK mereka enggak punya anggaran belanja modal," terangnya.
Struktur belanja daerah juga belum baik juga terlibat dari banyaknya program yang dicanangkan dalam masa satu tahun anggaran. "Padahal yang namanya item program dan kegiatan harusnya terstandardisasi. Kemudian belanja pegawai rata-ratanya ada di kisaran 32,4 persen. Lalu belanja infrastuktur juga masih rendah," imbuh Astera.
Ada pula permasalahan pada pemanfaatan pembiayaan daerah yang masih sangat terbatas. Ini terlihat dari banyaknya pemda yang hanya memanfaatkan pembiayaan dari pinjaman. "Itu punpinjamnya ke BPD sendiri. Padahal masih ada ranah yang belum bisa dimanfaatkan optimal. Misalnya KPBU, obligasi daerah dan sukuk daerah," tandasnya.