Jakarta, FORTUNE - PT Kereta Commuter Indonesia (KAI Commuter) menyiapkan rencana penyesuaian tarif layanan Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek tahun ini. Direktur Utama KAI Commuter, Asdo Artriviyanto, mengatakan operator tersebut siap menjalankan keputusan yang diambil oleh regulator (Kementerian Perhubungan).
"Kalau pemerintah menetapkan kebijakan tarif, kami secara IT kami akan siapkan dan kami siap untuk melakukan perubahan itu," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung KAI Commuter, seperti dikutip Antara, Kamis (11/1).
Asdo menjelaskan penyesuaian tarif KRL terakhir kali dilakukan pada 2016. Artinya, dalam delapan tahun terakhir pemerintah tidak memberlakukan kenaikan tarif.
Meski demikian, dia belum mengetahui kapan pastinya keputusan kenaikan tarif tersebut akan diambil pemerintah.
"Tunggu tanggal mainnya," ujar Asdo.
Dia menjelaskan bahwa biaya operasi KRL seluruhnya ditanggung oleh pemerintah melalui skema Subsidi public service obligation atau PSO.
"Jadi, KAI Commuter ini mengoperasikan kereta api-kereta api pemerintah melalui penugasan. Jadi, pembiayaannya itu adalah biaya operasi semua baik itu BBM, biaya perawatan, sarana prasarana termasuk pembayaran krunya, plus margin 10 persen, itu sistem PSO," kata Asdo.
Subsidi KRL capai Rp1,4 triliun
Tarif KRL yang berlaku saat ini adalah Rp3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama dan ditambahkan Rp1.000 untuk perjalanan setiap 10 km berikutnya.
Dalam wawancara khusus dengan Fortune Indonesia pada akhir 2022, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sempat menyampaikan bahwa subsidi pemerintah untuk KRL mencapai Rp1,4 triliun. Dana yang diberikan pemerintah lewat skema PSO tersebut dinikmati sekitar 1,2 juta orang pengguna KRL.
Namun, dengan dana subsidi tersebut tarif KRL tidak dipukul rata untuk seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah membedakan tarif KRL di tiap wilayah operasional KAI Commuter.
"Total subsidi kita di kereta api hampir Rp4 triliun. Komuter Solo-Yogyakarta itu tiketnya Rp8.000," katanya.
Menurut Budi Karya, persoalan harga tiket KRL di Jabodetabek cukup sensitif. Pasalnya, commuter line menjadi moda transportasi antarkota yang paling efektif dan banyak digunakan masyarakat ketimbang moda lainnya.
Di sisi lain, moda transportasi lain tetap membutuhkan subsidi untuk mendorong masyarakat beralih dari transportasi pribadi. Hanya saja, ia mengakui bahwa dana PSO yang diberikan pemerintah tak cukup untuk mensubsidi semua angkutan massal. Karena itulah penyesuaian tarif menjadi hal yang tidak terhindarkan.