Jakarta, FORTUNE - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memastikan tarif tiket commuter line atau kereta rel listrik (KRL) takkan mengalami kenaikan pada 2023. Namun, orang-orang yang lebih mampu nantinya harus membayar lebih tinggi, katanya, sebab tiket yang dijual saat ini menggunakan harga yang disubsidi pemerintah.
Tanpa adanya dana public service obligation (PSO) yang digelontorkan tiap tahun, tarif asli harusnya sekitar Rp10.000–15.000.
Karena itu, pemerintah berencana menerbitkan kartu baru guna membedakan profil penumpang agar subsidi melalui PSO bisa lebih tepat sasaran.
"Memang diskusi kemarin dengan Bapak Presiden, kami akan pilah-pilah [golongan]. Mereka yang berhaklah yang akan mendapatkan subsidi. Jadi, mereka yang tidak berhak harus membayar lebih besar dengan membuat kartu," ujarnya dalam jumpa pers akhir tahun, Selasa (28/12).
Kepada Fortune Indonesia, Budi Karya sempat menjelaskan ihwal subsidi yang tidak memungkinkan untuk dikucurkan ke semua kelas masyarakat.
Menurutnya, hingga saat ini ada 1,2 juta orang per hari yang menumpang KRL. Dengan jumlah penumpang sebanyak itu, pemerintah menggelontorkan subsidi hingga Rp1,4 triliun.
"Total subsidi kita di kereta api hampir Rp4 triliun. Komuter Solo-Yogyakarta itu tiketnya Rp8.000. Di Jakarta, persoalan harga tiket lebih sensitif lagi," katanya.
Budi Karya mengatakan PSO untuk KRL atau dalam kota lebih besar ketimbang KA jarak jauh. Pertimbangannya antara lain keberadaan transportasi alternatif selain kereta api untuk perjalanan antar kota.
"Karena untuk perjalanan antarkota ada alternatif bus. Kalau di dalam kota, busnya macet. Pasar perkotaan ini signifikan, apalagi biaya hidup yang lain sudah mahal. Angkutan massal itu pada dasarnya disubsidi. Tapi, kita tidak mampu mensubsidi semuanya," ujarnya.
Kemenhub kaji ulang besaran tarif
Sementara itu, Plt. Direktur Jenderal Perkeretaapian, Risal Wasal, mengimbau masyarakat tidak mencemaskan penyesuaian tarif KRL. Sebab, saat ini pemerintah masih mengkaji ulang nominal tarif yang sesuai agar tidak memberatkan masyarakat dan tidak terlalu membebani anggaran PSO.
“Semoga tahun depan akan ada kabar baik mengenai tarif KRL,” kata Risal dalam keterangan resminya.
Kajian tentang penetapan tarif tersebut memang memperhatikan tingkat kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membayar tarif KRL, sekaligus menimbang beban operasional KRL dan kebutuhan subsidi yang akan dianggarkan, ujarnya.
“Peningkatan tarif operasional KRL Jabodetabek selalu dan pasti terjadi setiap tahunnya, sehingga membuat beban PSO terus meningkat untuk menstabilkan tarif KRL ini,” katanya.
Ia memaparkan peningkatan tarif operasional KRL Jabodetabek selalu terjadi akibat inflasi yang menyebabkan terjadinya peningkatan komponen-komponen biaya yang dibutuhkan.
Hal ini menyebabkan subsidi PSO terus bertambah dan menjadi kontraproduktif terhadap upaya pembangunan yang masih terus berlangsung.
Menurut Risal, anggaran yang dialokasikan ini akan lebih produktif jika disalurkan untuk pembangunan prasarana dan peningkatan pelayanan perkeretaapian di seluruh Indonesia.
“Tarif KRL hari ini adalah hasil hitung-hitungan pada tahun 2015, tentu sudah tidak relevan dengan hitungan hari ini. Namun, kami memahami bahwa ekonomi masyarakat sangat terdampak dengan adanya pandemi, sehingga kajian masih kami lakukan,” ujarnya.