Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeklaim bahwa pembahasan finance track pada agenda Presidensi G20 di Indonesia berjalan lancar meski tensi geopolitik memanas akibat adanya perang Ukraina dan Rusia.
Hal tersebut, kata dia, terbukti ketika Indonesia menjadi host dalam agenda sela Pertemuan Musim Semi IMF-World Bank di Washington DC, Amerika Serikat pada April lalu.
"Di finance track, diskusinya jauh lebih dalam dan teknis dan salah satu yang paling menguntungkan adalah ketika dunia dalam situasi konflik, kita tetap bisa membahas berbagai masalah teknis atau isu di luar politik," ujarnya saat berbicara di acara UI International Conference on G20, Kamis (16/6).
Tak hanya itu, hingga saat ini, lanjut Sri Mulyani, Indonesia juga mencapai sebuah kemajuan dengan terus mempertahankan kerja sama global dalam mencapai agenda G20.
"Yang menarik, saya ingin berbagi dengan Anda, bahkan semua pihak yang berkonflik, ketika mereka saling berkonflik satu sama lain, saat mereka berbicara dengan Indonesia sebagai Presidensi G20 mereka semua sangat mendukung agenda ini. Jadi, itulah keuntungan yang kami coba untuk terus rawat dan kelola," ujarnya.
Enam isu krusial
Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani juga memaparkan enam isu krusial yang dibahas dalam agenda Finance Track G20 di Indonesia.
Pertama, exit strategy untuk mencapai pemulihan ekonomi yang merupakan isu lanjutan dari Presidensi G20 di Italia. Isu ini menurutnya penting karena anggota G20 berharap bahwa tahun ini merupakan tahun pemulihan, sehingga para menteri keuangan dan gubernur bank sentral harus memikirkan bagaimana merancang normalisasi kebijakan yang sebelumnya mereka ambil dalam situasi pandemi.
Kedua, bagaimana mengatasi efek paling menakutkan dari pandemi untuk mengamankan pertumbuhan di masa depan. Menurut Sri Mulyani, pandemi bukan hanya memunculkan berbagai masalah di sektor kesehatan tapi juga menimbulkan luka besar pada perekonomian baik secara sektoral, regional maupun antar negara.
"Jadi, efek paling menakutkan ini harus diatasi dengani merancang kebijakan yang tidak menguntungkan diri sendiri tapi juga melihat situasi lebih dalam, pada beberapa isu tersebut," ujarnya.
Isu ketiga adalah masalah sistem pembayaran, khususnya di era digital. Hal ini dinilai penting karena terkait dengan banyak platform atau sistem pembayaran baru serta munculnya teknologi atau mata uang kripto yang berpotensi memunculkan masalah bagi stabilitas ekonomi, kebijakan moneter, atau sistem pembayaran.
Keempat, adalah isu keuangan berkelanjutan khususnya untuk menjalankan transisi ke sektor rendah karbon yang tetap terjangkau dan adil. "Dan juga sekarang masalah keamanan energi menjadi sangat penting," katanya.
Kelima, adalah isu terkait inklusi keuangan sebab di bawah era teknologi hal paling penting yang tak boleh terlewatkan adalah memastikan UMKM dan rumah tangga berpenghasilan rendah tidak tertinggal.
"Keenam benar-benar masalah inti untuk kementerian keuangan adalah perjanjian perpajakan internasional," katanya.