Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan ketegangan geopolitik global membuat berbagai negara mulai menerapkan kebijakan proteksionisme. Kondisi ini terjadi sejak perang antara Rusia dan Ukraina meletus pada awal 2022 dan terus meningkat seiring memanasnya hubungan Taiwan dan China.
"Banyak dunia mulai sekarang, masyarakat atau negara, melakukan review terhadap hubungan antar negara. Kondisi geopolitik, yang penuh dengan kompetisi dan juga potensi perang, menimbulkan semua negara untuk semakin inward looking dan mencari hal-hal yang bisa meningkatkan ketahanan dari perekonomiannnya masing-masing," ujarnya saat bicara dalam PKKMB Universitas Indonesia, Senin (8/8).
Menurut Bendahara Negara, ketegangan geopolitik yang disebabkan masalah ideologi hingga persaingan sumber daya alam sebenarnya merupakan hal yang wajar dan merupakan konsekuensi dari pergaulan dunia. Sebab, tiap negara memiliki kepentingan untuk saling memberikan pengaruh. Dan hal tersebut tak bisa dilepaskan dari dimensi politik dan ekonominya.
Ia menjelaskan, misalnya, perang di Ukraina kini bukan lagi menjadi masalah antara kedua negara yang bertikai melainkan menjelma menjadi proxy war antara Blok Rusia dengan Eropa yang masing-masing memiliki pendukungnya sendiri. Karena itu, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Ukraina dan Eropa namun juga ke seluruh dunia.
"Karena Rusia-Ukraina dalam hal ini sebagai produser berbagai komoditas penting dan di dalam keadaan geopolitik ini instrumen ekonomi menjadi instrumen perang sehingga sanksi ekonomi yang terjadi sehingga dampaknya memang tidak hanya dari sisi masalah militer, keamanan, namun juga dari sisi keuangan," jelasnya.
Ketegangan RRT-Taiwan perburuk situasi geopolitik
Belum selesai perang di Ukraina, kini dunia dihadapkan pada potensi maslah baru akibat memanasnya hubungan antara Republik Rakyat Tiongkong (RRT) dengan Taiwan usai kunjungan Ketua Parlemen Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taipei.
"Eskalasi yang luar biasa itu akan menimbulkan kemungkinan dampak dari sisi keamanan namun juga selalu dimensinya dari sisi politik ekonomi," jelas Sri Mulyani.
Dengan potensi ketegangan geopolitik yang besar tersebut, lanjut Sri Mulyani, seluruh dunia kini berada dalam kekhawatiran dan merasa tidak aman. Akibatnya, hubungan antar negara yang selama tiga dekade berada dalam asumsi bahwa dunia akan saling berhubungan--baik dari sisi perdaganan investasi lalu lintas manusia, lalu lintas modal, barang informasi--kini mulai ditinjau ulang.
"Artinya, proteksionisme kemungkinan akan semakin besar. Locked akan menjadi sangat menguat, hubungan investasi perdagangan tidak lagi didasarkan kepada flow of goods dan capital serta manusia yang bebas, namun sudah diperhitungkan dari sisi aspek geopolitik," jelas Sri Mulyani.
"Ini adalah landscape yang berubah dan Indonesia sebagai negara besar, baik dari sisi populasi dan dari sisi ekonominya, karena kita masuk dalam G20, size ekonomi Indonesia sudah masuk dalam 20 terbesar di dunia dan ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara yang juga tidak boleh tidak paham terhadap konteks geopolitik yang berubah," tandasnya.