Jakarta, FORTUNE - Direktur Pelaksana Bank Dunia, Marie Elka Pangestu, mewanti-wanti risiko fragmentasi geopolitik terhadap kinerja investasi Indonesia, terutama akibat meningkatnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina.
Ia mengatakan risiko tersebut telah menjadi perbincangan di kalangan investor lantaran kebijakan pembatasan yang diberlakukan AS terhadap sejumlah barang dari Cina kemungkinan akan meluas dan intensif.
Salah satunya, melalui strategi decoupling—atau derisking dan deconcentration dalam terminologi Presiden AS Joe Biden.
"Sejak Biden masuk ke second wave (pembatasan) bukan hanya dilihat impor tidak datang dari Cina, tapi walaupun itu datang dari Indonesia maupun Vietnam, supply chain-nya masih tersambung ke China enggak? Ini yang disebut derisking dan deconcentration," ujarnya dalam BNI Investor Daily Summit 2023, Selasa (24/10).
Pun demikian, lanjut Mari, dekonsentrasi rantai pasok barang yang berkaitan dengan Cina oleh AS bisa menjadi peluang bagi Indonesia. Sebab, hal tersebut membuat sejumlah negara memindahkan investasinya dari Cina ke negara-negara lain.
"Investasi Korea yang ada di Cina yang akan keluar, bagaimana kita naik menarik investasi ini sehingga kita mendapat benefit dari diversifikasi dan dekonsentrasi ini tapi itu melalui investment bukan melalui trade," katanya.
Hanya saja, Indonesia juga perlu waspada jika kebijakan derisking dan deconcentration AS terhadap barang Cina diperluas ke komoditas lain. Apalagi, hilirisasi sumber daya alam di Indonesia banyak ditopang investasi dari Cina, misalnya untuk komoditas nikel.
"Ambil contoh EV [kendaraan listrik] dan baterai. Ada investasi dari Cina masuk ke Morowali kerja sama dengan smelter nikel; kerja sama dengan LG untuk baterainya; kerja sama dengan Hyundai masuk ke kendaraannya. Notabene kan itu dari Indonesia, tapi ada investasi Cina. Yang jadi pertanyaan apakah itu akan dipersoalkan?" ujarnya.
Mari menyarankan Indonesia bergabung dengan organisasi negara-negara yang berkepentingan melakukan ekspor ke AS agar dapat melakukan perjanjian regional value chain.
"Untuk melobi supaya kita masuk apakah melalui APEC atau mendapatkan limited minerals agreement seperti yang diperoleh oleh Jepang dan Eropa. Itu salah satu jawabannya untuk bisa menjawab masalah ketidakpastian tadi. Kalau enggak investasinya enggak akan masuk," katanya.
"Terus terang kalau kita dengar pembahasan di investor level, itu yang mereka khawatirkan. Karena investasi besar, begitu Anda berinvestasi tiba-tiba ada peraturan tidak boleh ada unsur perusahaan Cina sama sekali, apa yang bisa Anda lakukan? Nah ini menjadi ketidakpastian," ujarnya.
Pelemahan ekonomi global
Menurut Mari, strategi pembatasan barang impor dari Cina juga telah berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi global dan regional. Sejak tarif impor 25 persen terhadap impor barang dari Cina ke AS diberlakukan, sejumlah barang ekspor Cina seperti perangkat keras teknologi informasi dan semiconductor serta barang-barang elektronik dan otomotif lainnya mengalami penurunan.
Hal ini berdampak pada pelemahan kinerja ekonomi Cina dan membuat negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia, turut terdampak.
"Kelihatannya, dalam jangka pendek maupun hingga akhir dekade ini akan terjadi secular decline dalam pertumbuhan. Kalau untuk global katanya dua persenan dibandingkan dengan rata-rata sebelum pandemi 3 persen. Sama halnya dengan negara maju. Kalau emerging country sekitar 4-5 persen dibanding 6 persen, termasuk Cina," kata Mari.
Dia mengatakan pertumbuhan di Asia Tenggara diproyeksikan sekitar 5 persen dibandingkan dengan rata-rata sebelumnya yang mencapai 7. "Jadi, kita dalam periode pertumbuhan melambat, dan ini akan berdampak ke perdagangan," ujarnya.