Jakarta, FORTUNE - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap 83 kapal yang melakukan praktik penangkapan ikan ilegal, tak terlaporkan, dan tak teregulasi (illegal, unreported, unregulated fishing, IUU Fishing) di wilayah perairan Indonesia sepanjang Januari hingga Juli 2022.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin, menuturkan dari kedelapan puluh tiga kapal tersebut, sebelas di antaranya berbendera asing dan berasal dari Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
"Sejauh ini hasil operasi kapal pengawas sepanjang semester I 2022, kita telah berhasil menangkap kurang lebih 83 unit kapal ikan. Terdiri dari 72 unit kapal ikan Indonesia, kapal ikan asing berbendera Malaysia ada delapan, kapal ikan asing berbendera Filipina satu kapal, dan terakhir dua kapal berbendera Vietnam," ujarnya dalam konferensi pers Capaian Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Semester I tahun 2022, Senin (8/8).
Adin memaparkan, potensi kerugian negara yang dapat diamankan dari penangkapan kapal berbendera asing tersebut bisa mencapai lebih dari Rp276 miliar. Perkiraan tersebut didasarkan pada asumsi rata-rata volume kapal ikan yang ditangkap yakni 70-50 gross tonnage (GT).
"11 kapal ini kalau dirata-rata kan sekitar 70-75 GT, namun sebagian besar memang di bawa 100 GT, termasuk kemarin dua kapal dari Vietnam biasanya kapalnya besar-besar di atas 100 GT. Kapal Filipina biasanya kecil, jadi dirata-ratakan kurang lebih 70-75 GT," tuturnya.
Jika volume palka kapal bisa teroptimalkan hingga 80 persen dan tiap kapal melakukan penangkapan ikan hingga 10 kali dalam setahun, kata Adin, maka sebelas kapal tersebut bisa membawa lari ikan dari Indonesia sebanyak 6 ribu hingga 7 ribu ton. Sementara jika dikonversi ke rupiah, dengan asumsi harga patokan ikan hanya Rp35 ribu per ton saja, maka kerugiannya bisa mencapai lebih dari Rp250 miliar.
"Kemungkinan dari 11 kapal ini bisa mengambil dari wilayah perikanan negara Indonesia, untuk dibawa, dicuri dari Indonesia, dibawa ke Malaysia, Vietnam maupun Filipina, kalau dikonversi ke rupiah dengan patokan harga ikan kurang lebih 35 ribu, itu bisa kurang lebih Rp276 miliar," jelasnya.
Meski demikian, Adin menegaskan bahwa angka tersebut hanya hitung-hitungan kasar yang ia proyeksikan. Hal tersebut juga belum mencakup potensi kehilangan penerimaan negara jika sebelas kapal asing tersebut merupakan kapal legal yang bisa menyetorkan PNBP.
"Itu belum dihadapkan dengan potensi lainnya kalau kapal tersebut legal seperti misalnya bapak Menteri Mendorong penangkapan ikan terukur, operasional kapal ikan ini ditetapkan di satu pelabuhan akan ada pendapatan ekonomi negara lainnya dari penerimaan pajak, BBM, kemudian air, dan juga pemasukan informal lainnya, itu untuk penangkapan ilegal khusus kapal ikan asing," jelasnya.
Sementara untuk kapal-kapal ikan ilegal berbendera Indonesia, tutur Adin, perhitungan potensi kerugian tak menjadi perhatian khusus sebab pemerintah lebih ingin mendorong kepatuhan para pelaku kapal ikan ilegal tersebut.
"Memang berbicara kepatuhan ada pelanggaran yang berimbas pada kerugian ekosistem. Karena ada kapal ikan Indonesia yang menggunakan alat yang dilarang, tidak ramah lingkungan, apakah itu cantrang, ada troll mini, kemudian juga ada yang menggunakan destruktif fishing, ini yang merusak ekosistem laut yang berdampak pada sustainability perikanan, potensi ekonomi laut," jelasnya.
Lokasi penangkapan kapal
Lebih lanjut, Adin memaparkan bahwa kapal ikan Malaysia berhasil ditangkap di Selat Malaka, sementara kapal ikan ilegal Filipina di perbatasan Sulawesi Utara dengan Filipina, dan penangkapan kapal ikan asal Vietnam di Natuna Utara. Khusus kapal ikan Vietnam, kata Adin, penangkapan dilakukan dengan kondisi palka bermuatan 11 ton ikan dan awak kapal berjumlah 14 orang pada dua kapal.
"Tangkapan terakhir kapal Vietnam pada 24 Juli 2022, ditangkap oleh Kapal Pengawas Hiu Macan 01. Terdapat alat tangkap yang dilarang yang tidak ramah lingkungan, yaitu jaring trawl dan ditarik oleh dua kapal yang kita kenal dengan pair trawl, dua kapal berpasangan menarik jaring," tuturnya.
Kini, lanjut Adin, KKP telah menerapkan sistem pengawasan terintegrasi dalam mengawasi kegiatan kelautan dan perikanan di wilayah perairan Indonesia. Pengawasan paling dini dimulai dari pengawasan menggunakan satelit secara real time, kemudian memanfaatkan laporan dari Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang merupakan nelayan yang berada di perairan secara langsung, kemudian validasi menggunakan air surveilance untuk memastikan informasi yang diterima dari satelit dan Pokmaswas.
Kapal ikan yang melakukan pelanggaran dan ditangkap akan dikawal untuk menuju pangkalan terdekat untuk dilakukan proses penindakan hukum lebih lanjut. ia juga menyampaikan apresiasi pada salah satu petugas pengawas yaitu Kapten Samson yang memimpin Kapal Pengawas Hiu Macan 01 sejak 2004 hingga 2022. Kapten Samson dengan Kapal Pengawas Hiu Macan 01 telah menangkap 1.001 kapal ikan yang melakukan IUU Fishing di perairan Indonesia.