Jakarta, FORTUNE - Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto, mengatakan target 1 juta barel minyak per hari pada 2030 kemungkinan akan diundur.
Pasalnya, industri hulu migas dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan produksi minyak terangkut (lifting).
Pada 2023, misalnya, terjadi penurunan produksi minyak -1,1 persen dan gas sebesar 2,1 persen, menjadi masing-masing 605,7 juta BOPD dan 6.630 juta MSCFD.
Dia mengaku telah berdiskusi dengan sejumlah pakar untuk membahas kemungkinan bergesernya target ke 2032 atau bahkan 2033.
"Kita lebih masih cenderung ingin bahwa angka 1 juta kita pakai sebagai milestone untuk menuju ke sana. Sedangkan tahunnya yang mungkin bergeser 2-3 tahun. Tetap 1 juta barel, karena memang kebutuhannya naik, cuma waktunya aja yang bergeser," ujar Dwi dalam rapat di Komisi VII DPR RI, Rabu (13/3).
Menurut Dwi, pencapaian target 1 juta barel minyak per hari sebagai rencana jangka panjang sejak 2019 perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan berbagai hal. Salah satunya, kondisi pandemi Covid-19 yang berdampak pada pencapaian produksi hingga kelangkaan rig.
"Di 2020 kita masih menghadapi pandemi sehingga kegiatan di lapangan terganggu semua. Itu alasan kenapa capaiannya belum seperti yang kita harapkan, sehingga kita perlu review. Kemudian juga kondisi geopolitik sudah sangat mempengaruhi," kata Dwi.
Investasi
Dwi pernah mengatakan bahwa industri hulu migas membutuhkan investasi sekitar 20 miliar dolar AS per tahun.
Investasi itu diperlukan untuk mendukung capaian target produksi 1 juta barel per hari (BOPD) dan gas menjadi 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030.
"Target 2030 bisa dicapai dengan syarat kita melakukan aktivitas yang agresif dan investasi yang masif. Kita perlu mengebor lebih dari 1.000 sumur per tahun setelah 2025," ujarnya dalam sambutan ketika membuka International Convention of Indonesian Upstream Oil and Gas (ICIUOG) 2023.
Dwi mengatakan sejak 2020, daya tarik investasi hulu migas di Indonesia telah meningkat karena mendapat dukungan pemerintah melalui sistem fiskal yang lebih fleksibel dan pendukung lainnya yang menurunkan risiko investasi.
"Namun demikian, beberapa area masih memerlukan perbaikan, yaitu dalam aspek legal dan kontraktual serta penemuan cadangan raksasa (giant discovery)," kata Dwi.