Jakarta, FORTUNE - Ketua Komisi Kebijakan Umum Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Mickael Bobby Hoelman, mengatakan pihaknya telah menguji coba penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) atau layanan BPJS Kesehatan "tanpa kelas" di empat rumah sakit di Indonesia.
Uji coba tersebut ditujukan untuk menyiapkan implementasi KRIS secara bertahap tahun ini, dengan mempertimbangkan kesiapan rumah sakit dalam memenuhi 12 kriteria pelayanan kesehatan.
Hasil monitoring dan evaluasi oleh DJSN dan Kementerian Kesehatan serta BPJS Kesehatan terkait uji coba tersebut adalah, salah satunya, kebutuhan biaya rumah sakit untuk meningkatkan infrastrukturnya agar memenuhi kriteria layanan KRIS yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 47/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan.
"Kebutuhan dana perbaikan infrastruktur pemenuhan 12 kriteria di 4 RSUP bervariasi dari Rp321 juta sampai Rp2,6 miliar. Makin tinggi tipe rumah sakit, makin tinggi biaya perbaikan yang dibutuhkan," ujarnya dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Kamis (9/1).
Temuan hasil uji coba KRIS secara umum menunjukkan bahwa 98 persen kriteria KRIS telah dipenuhi oleh 4 RS uji coba, yang "tiga dari empat telah memenuhi 12 kriteria, yaitu RSUP Rivai Abdullah, RSUP Surakarta dan RSUP Tadjudin Chalid. Hanya RSUP Leimena saja yang belum memenuhi 1 dari 12 kriteria yaitu tirai/partisi," katanya.
Kemudian, uji coba juga menunjukkan bahwa penerapan KRIS JKN tidak mengurangi akses layanan terhadap peserta termasuk terhadap pendapatan RSUP.
Mickael menyatakan uji coba tersebut juga dilakukan untuk menindaklanjuti kesimpulan hasil rapat dengar pendapat sebelumnya, bahwa "penahapan KRIS dimulai 2023 dengan mempertimbangkan kesiapan RS dan penyelenggaraan KRIS secara menyeluruh ditargetkan berlaku 1 Januari 2025."
Ketahanan dana BPJS Kesehatan
Dalam kesempatan tersebut, DJSN menyampaikan pula kajian dampak implementasi KRIS terhadap ketahanan dana jaminan sosial (DJS) yang dikelola BPJS Kesehatan.
Berdasarkan simulasi dua tarif tersebut, menurut Mickael, dana jaminan sosial kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan takkan terlalu terdampak.
"Kajian ini menggunakan medical loss ratio, dan kami juga telah memperhitungkan posisi DJSN 2022 unaudited pada rupiah Rp56,5 triliun," sebutnya.
Untuk tarif kelas standar Rp125.000, misalnya, BPJS Kesehatan masih akan meraup total pendapatan Rp144,98 triliun dan memiliki total beban Rp161,81 triliun pada 2023. Dengan posisi medical loss ratio atau rasio klaim 108,49 persen, Dana Jaminan Sosial (DJS) 2023 masih akan surplus Rp42,49 triliun.
Demikian juga pada 2024 saat BPJS Kesehatan masih akan meraup total pendapatan Rp150,98 triliun dan total beban Rp174,22 triliun. Dengan posisi medical loss ratio atau rasio klaim 112,69 persen, DJS 2024 masih akan surplus Rp20,79 triliun.
Meski demikian, dengan tarif standar Rp125.000, BPJS pada 2025 akan mengalami defisit Rp12,30 triliun. Pasalnya, total pendapatan Rp154,96 triliun dan total beban menjadi Rp189,09. Sementara rasio klaimnya akan meningkat lebih tinggi menjadi 118,81 persen.
Dengan simulasi yang sama, tarif standar Rp100.000 berujung surplus pada total DJS untuk 2023 dan 2024 sebesar Rp42,49 triliun dan Rp20,79 triliun berturut-turut. Sedangkan pada 2025, DJS yang dikelola BPJS Kesehatan mulai mengalami defisit lebih besar, yakni Rp23,27 triliun.
"Kami melakukan simulasi pada tingkat tarif kelas 2,5 atau besaran antara kelas II dan III saat ini, dana JKN BPJS Kesehatan juga masih menunjukkan angka positif pada 2024. Demikian halnya apabila tarif ditingkatkan kepada tarif kelas II bagi layanan faskes KRIS sedangkan faskes non KRIS masih sesuai dengan kelas kepesertaan dana jaminan sosial Kesehatan juga masih berada pada angka positif, yaitu Rp17,41 triliun," ujarnya.