Jakarta, FORTUNE - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan bahwa pungutan berupa retribusi tak diperbolehkan jika tak ada balas jasa langsung dari pemerintah daerah.
"Retribusi itu secara definisi harus ada jasa pemerintah. Tidak boleh retribusi yang jadi seperti pajak. Kalau mengenakan pajak boleh tanpa ada balas jasa langsung," ujarnya dalam Sosialisasi Undang-Undang nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), Kamis (17/3).
Meski demikian, ia menegaskan bahwa ruang untuk menambah jenis retribusi masih terbuka. Hal tersebut dapat diatur lebih lanjut jika ada usulan dari daerah.
Opsi retribusi tambahan tersebut antara lain termasuk retribusi pengendalian perkebunan terkait sawit yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, untuk menyesuaikan dengan dinamika di daerah, namun tetap menjaga stabilitas perekonomian.
"Penambahan jenis retribusi baru dimungkinkan melalui peraturan pemerintah. PP-nya nanti bisa mengatur sedikitnya objek, subjek dan wajib retribusi, prinsip, dan sasaran penerapan tarif. Ini untuk membuka kalau memang ada objek baru yang pantas dikenakan retribusi," imbuhnya.
Sebagai informasi, UU HKPD memangkas jumlah jenis retribusi daerah dari 32 jenis menjadi 18 jenis, antara lain 5 jenis retribusi jasa umum, 10 jenis retribusi jasa usaha dan 3 jenis retribusi perizinan tertentu.
Pada beleid sebelumnya, UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), menurut Suahasil, ada banyak retribusi yang dikenakan atas layanan yang sebenarnya wajib diberikan oleh pemda tanpa dikenai pungutan.
Misalnya retribusi biaya cetak KTP dan akta catatan sipil, retribusi pelayanan pemakaman, hingga retribusi penyediaan dan/atau penyedotan kakus.
"Aturan ini detail sekali termasuk retribusi KTP dan macam-macam. Pengaturan detailnya nanti dari PP namun kita harap PAD (Pendapatan Asli Daerah) tetap terjaga," tandasnya.
Diharapkan tak ganggu PAD
Suahasil mengatakan pengurangan jenis retribusi tersebut diharapkan tak akan mengganggu keuangan daerah lantaran telah dikompensasi dengan aturan baru perpajakan daerah yang berpotensi meningkatkan penerimaan.
Bersamaan dengan peningkatan kapasitas fiskal tersebut, UU HKPD juga mengamanatkan berbagai upaya dan dukungan perbaikan pengelolaan keuangan di daerah, seperti simplifikasi program/kegiatan dan pengaturan mandatory spending.
Beberapa pengaturan dalam UU HKPD tersebut, menurut Suahasil, akan menantang bagi beberapa daerah, karena akan terjadi perubahan perilaku belanja.
Dari sisi skema pembiayaan, UU HKPD mendorong penggunaan creative financing untuk akselerasi pembangunan di daerah. "Jadi tidak ada lagu alasan enggak bangun jalan karena tidak ada uangnya," jelas Suahasil.
Adapun UU HKPD tidak hanya mengartikan creative financing sebagai pembiayaan berbentuk utang namun juga mendorong bentuk lain yang berbasis sinergi pendanaan dan kerjasama dengan pihak swasta, BUMN, BUMD, ataupun antar-Pemda.
Selain itu, UU HKPD juga membuka adanya opsi bagi daerah yang berkapasitas fiskal tinggi dan telah memenuhi layanan publiknya dengan baik untuk membentuk Dana Abadi Daerah untuk kemanfaatan lintas generasi.