Jakarta, FORTUNE - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan lembaganya menyambut baik inisiatif pemerintah yang ingin menjadikan Bali sebagai wilayah yang ramah lingkungan. Menurutnya, wilayah tersebut memang memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) yang cukup besar.
Bagi Fabby, transformasi Bali menjadi wilayah “hijau” serta menggunakan energi bersih sepenuhnya memang merupakan sebuah keharusan. Sebab, menurutnya, wilayah ini merupakan ikon pariwisata Indonesia serta memiliki nilai jual di mata internasional.
Fabby juga berpendapat bahwa Bali memiliki karakteristik yang memungkinkan untuk menjadi hijau karena kultur budayanya. Dia menyebutkan, misalnya, tradisi nyepi di Bali yang bisa diartikan sebagai puasa energi.
“Jadi membuat Bali menjadi hijau itu menurut saya memang sangat penting,” kata Fabby kepada Fortune Indonesia, Kamis (18/11). “Dalam arti kalau kita melihat Bali sebagai daerah tourism, perkembangan tourism sekarang kan ke arah sustainable dan green tourism. Jadi ketika ingin dihijaukan itu membuat Bali naik kelas.”
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan, pemerintah menargetkan Bali pada 3 sampai 4 tahun mendatang akan menjadi go green. Pemerintah, kata dia, ingin mulai mengurangi penggunaan energi fosil di Bali.
“Mungkin dalam 3 sampai 4 tahun itu sudah kami kurangin penggunaan fosil di sana sehingga bisa jadi satu green pulau,” kata Luhut dalam webinar, Rabu (17/11).
Potensi EBT: Surya terbesar
Fabby berkata, berdasarkan studi lembaganya, Bali memiliki potensi EBT yang besar mencapai 143 gigawatt. Dari jumlah tersebut, sebanyak 142 gigawatt bisa disumbang dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Sisanya, dapat bersandar dari energi hidro, angin, dan biomassa.
Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) ini mengatakan, inisiatif pengembangan energi surya bisa dilakukan dengan membangun PLTS atap di tempat seperti, hotel, rumah warga, gedung pemerintah, dan lainnya. Dia menghitung, dengan luas atap yang ada, potensi energi yang dihasilkan dari PLTS atap bisa mencapai 3,2 sampai 10 gigawatt.
Potensi energi PLTS sedemikian, menurut Fabby, jauh lebih tinggi dari kapasitas pembangkit di Bali. Bahkan, lanjutnya, juga melampaui beban puncak listrik di wilayah ini, khususnya sebelum pandemi, yaitu 1.100 megawatt.
“Tentunya orang bilang kalau ini matahari hanya ada di siang hari, lalu waktu malam bagaimana?” katanya. “Ya, ini juga bisa ditambah dengan investasi baterai mungkin baterai yang sifatnya skala besar bisa baterai kimia maupun pumped hidro energy storage (PHES).
Fabby pun yakin bahwa Bali bisa menjadi provinsi yang mengandalkan energi bersih. Menurutnya, upaya yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan secara masif membangun banyak PLTS atap.
“Jadi, kesimpulan yang bisa saya bilang adalah sumber daya energi terbarukan di Bali khususnya surya itu melimpah,” katanya. “Kalau potensi 3,2 gigawatt itu bisa dikerjakan dari sekarang sebelum 2040 Bali bisa menggunakan 100 persen energi terbarukan.”
Sementara itu, Luhut mengatakan, dalam inisiatif untuk “menghijaukan” Bali, pemerintah mengajak para pengusaha untuk berinvestasi di infrastruktur stasiun pengisian (charging) mobil listrik. Ini diharapkan akan mempercepat penggunaan mobil listrik di Bali.
“Perlu investasi masif untuk infrastruktur charging seperti di Bali. Saya minta teman-teman (pengusaha) bisa masuk di Bali. Kami akan percepat penggunaan motor-mobil listrik di Bali,” katanya.