Jakarta, FORTUNE - Koefisien Gini adalah suatu metode penghitungan terkait distribusi pendapatan atau kekayaan seluruh populasi sebuah negara. Koefisien gini biasanya juga digunakan untuk mengukur ketidakmerataan perekonomian negara.
Metode ini pertama kali dicetuskan oleh seorang pakar ilmu statistik asal Italia Corrado Gini, pada tahun 1912. Koefisien Gini digunakan sebagai tolok ukur ketimpangan.
Koefisien Gini bernilai 0 (nol) menunjukkan kesetaraan sempurna yang berarti seluruh penduduk memiliki pengeluaran per kapita yang sama. Sedangkan koefisien gini bernilai 1 (satu) menunjukkan ketimpangan sempurna. Artinya, hanya satu penduduk saja yang memiliki pengeluaran per kapita dan yang lainnya tidak sama sekali.
Koefisien gini tunjukan ketimpangan ekonomi
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi Koefisien Gini, semakin tinggi tingkat ketimpangan ekonomi suatu daerah. Sedangkan, di atas nilai satu secara teoretis mewakili penghasilan atau kekayaan yang negatif.
Semakin tinggi indeks gini, semakin besar pula ketimpangan yang ditunjukkan. Ini artinya, penduduk dengan income tinggi akan menerima angka persentase yang jauh lebih tinggi pula dari total income seluruh penduduk.
Indeks Gini juga sering kali direpresentasikan dengan kurva Lorenz. Berdasarkan kurva Lorenz tersebut, hasil koefisien gini dapat dihitung dengan cara membagi area A dengan luas area berbentuk segitiga, yakni A+B pada kurva. Oleh karena itu, rumus Koefisien Gini adalah GINI = A/(A+B).
Koefisien Gini Denmark termasuk rendah
Sebagai informasi tambahan, sebagian negara termiskin dunia menunjukkan angka Koefisien Gini tertinggi yakni sekitar 61,3. Sementara itu, deretan negara termakmur seperti Denmark menunjukkan angka terendah yaitu 28,8 di 2020.
Terdapat pro dan kontra terhadap metode koefisien gini. Hal itu dikarenakan terdapat beberapa kelemahan koefisien gini, di antaranya penggunaan teknik sampling yang bervariasi akan menghasilkan angka-angka berbeda. Sehingga, tak menuutup kemungkinan bahwa teknik sampling tidak akurat dan berpotensi mendistorsi hasil dari perhitungan.
Koefisien gini tidak dapat mengukur kualitas hidup sebuah populasi. Penduduk di desa mungkin saja berpenghasilan lebih rendah dibandingkan penduduk kota.
Namun, itu tidak dapat diartikan bahwa penduduk desa lebih miskin daripada penduduk kota. Banyak faktor penentu dalam hal ini, misalnya bahan makanan dari alam yang melimpah dan biaya transportasi yang lebih rendah di desa. Belum lagi, program kesejahteraan dari pemerintah seperti BPJS, beasiswa pendidikan, dana Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan perumahan bersubsidi yang tidak ikut dihitung dalam metode koefisien gini.