Jakarta, FORTUNE – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memanggil pihak AdaKami dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) terkait kabar debitur dari AdaKami yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri akibat tertekan oleh teror penagihan utang dari debt collector AdaKami. Kabar tersebut pertama kali diunggah oleh akun X @rakyatvspinjol pada (17/9) dan dibaca ribuan kali.
Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko menjelaskan, dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 3 jam tersebut, OJK meminta sejumlah klarifikasi terkait kabar meninggalnya debitur, tata cara penagihan, hingga biaya layanan yang dibebankan oleh peminjam.
“Kalau (pertemuan) tadi itu ada 3 yang dibahas ini biar semua terang benderang. Pertama terkait dengan masalah adanya debitur yang bunuh diri, terkait dengan masalah penagihan dengan orderan fiktif gitu ya, dan terkait dengan biaya layanan,” jelas Sunu saat dihubungi Fortune Indonesia di Jakarta, Rabu (20/9).
Sunu menjelaskan, AdaKami mengaku telah menelusuri terkait data pinjaman, namun belum juga mendapatkan data lengkap korban pada sistem internalnya. Sementara itu, untuk tata cara penagihan debt collector yang disebut membuat order fiktif pesanan makanan hingga pengiriman barang kepada korban juga disebut tidak benar dan tidak sesuai dengan aturan perusahaan. Untuk itu, pihaknya meminta agar pihak yang mengangkat kabar tersebut untuk tampil ke publik dan memberikan dengan jelas terkait data korban.
”Justru AdaKami sedang melakukan investigasi internal. Kenapa sampai ada (penagihan) seperti ini, yang pasti itu bukan arahan atau keputusan dari manajemen,” jelas Sunu.
OJK dan AFPI bakal perbaiki aturan bunga fintech
Sementara itu, terkait dengan biaya layanan AdaKami yang tinggi, Sunu menjelaskan bahwa setiap perusahaan fintech memberikan istilah biaya bunga dengan nama yang beragam, mulai dari biaya layanan hingga biaya lainnya. Ia menekankan bahwa tingginya biaya layanan dari koraban diakibatkan oleh tenor yang cukup panjang yakni 9 bulan pinjaman. Menurutnya, beban bunga yang diberikan oleh AdaKami masih dalam koridor aturan AFPI yakni maksimal 0,4 persen per hari.
“Tadi dipaparkan bahwa bunga yang Tersebar di sosial media itu adalah untuk tenor jangka waktu 9 bulan. Jadi kalau dihitung harian angkanya masih di bawah 0,4 Batas maksimum dari AFPI,” kata Sunu.
Meski demikian, lanjut Sunu, dengan adanya kejadian tersebut, asosiasi terbuka untuk mendapatkan masukan oleh berbagai pihak. Bahkan pihaknya di AFPI dan OJK dimungkinkan untuk memperbaiki batas bunga fintech dengan dua kategori yakni jangka panjang dan jangka pendek dari setiap pinjaman di fintech.
”Saya bilang kemungkinan ya, yang akan menjadi masukan untuk AFPI setelah berdiskusi dengan OJK tadi itu adalah misalkan untuk penerapan bunga tenor pendek boleh 0,4 persen per hari. Tapi kalau untuk tenor panjang harus dibawah 0,4 persen itu misalkan,” kata Sunu.
OJK masih investigasi dan dalami kasus AdaKami
Sementara itu, Deputi Komisioner Perlindungan Konsumen OJK, Sardjito menjelaskan bahwa pihaknya masih terus mendalami kasus tersebut dengan menggali sejumlah informasi dari seluruh pihak termasuk AdaKami, AFPI hingga korban. Ia pun menyatakan, bahwa OJK belum bisa memberikan keputusan terkait adanya sanksi atau tidak dari kasus ini.
“Masih terus dilakukan pendalaman kasus terhadap pihak-pihak terkait. Mohon bersabar menunggu,” kata Sardjito saat dihubungi Fortune Indonesia.
Sementara itu, Brand Manager AdaKami Jonathan Kriss menyatakan bahwa pihaknya terus mencari dan memverifikasi terkait data korban. Pihaknya juga mengaku prihatin terkait kejadian tersebut.
“Untuk tujuan penyelidikan dan penanganan, kami telah mengumpulkan data dan informasi yang relevan serta melakukan verifikasi terhadap nomor DC terkait pada ungahan akun @rakyatvspinjol. Saat ini, hasil penyelidikan kami menunjukkan bahwa nomor tersebut tidak terdaftar dalam sistem AdaKami,” kata Jonathan kepada Fortune Indonesia.
Seperti diketahui sebelumnya, kisah yang dibagikan oleh @rakyatvspinjol terkait korban dengan inisial K memiliki pinjaman di AdaKami sebesar Rp9,4 juta dengan tenor 9 bulan. Namun, K harus mengembalikan pinjaman tersebut senilai Rp18-Rp19 juta.
Dari tulisan akun tersebut, K merupakan ayah dari seorang balita perempuan dengan umur 3 tahun dan bekerja sebagai karyawan honorer di instansi Pemerintah. Meski sudah meninggal, debt collector dari AdaKami disebut tetap meneror K dengan sejumlah orderan fiktif melalui layanan ojek online yang biayanya ditanggung korban.