Jakarta, FORTUNE - Kawasan SCBD merupakan area komersial di Jakarta yang ikut menciptakan percakapan seru di media sosial. Di antara yang paling banyak disorot adalah gaya para pekerja di lingkungan tersebut.
Meski popularitasnya tidak dapat disangkal, namun mungkin ada orang yang masih belum tahu betul latar belakang distrik bisnis Jakarta tersebut. Ada yang memelesetkan akronim SCBD sebagai Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok, karena merujuk fenomena anak-anak muda di kota-kota penunjang Jakarta yang mengekspresikan diri lewat gaya busana di pusat kota. Padahal, kepanjangan resminya bukan itu, sebenarnya.
SCBD merupakan kependekan dari Sudirman Central Business District atau Kawasan Niaga Terpadu Sudirman. Terletak di Jakarta Selatan, DKI Jakarta, kawasan tersebut merupakan magnet bagi para pekerja di Tanah Air. Sebab, rata-rata perusahaan berskala besar—termasuk yang beroperasi lintas negara—memiliki kantor di sana.
Kemegahan bangunan-bangunan di area tersebut kian menegaskan status elite SCBD, dan membuat pesonanya sulit padam beriring perubahan zaman. Itu pula yang membuat banyak pekerja semacam punya mimpi untuk dapat berkantor di SCBD.
Padahal, jauh sebelumnya, kawasan tersebut tidaklah sementereng sekarang. Untuk mengetahui lebih jauh sejarahnya, mari simak informasi berikut:
Pernah menjadi kampung kumuh
SCBD dulunya merupakan kawasan kumuh yang berdiri di atas lahan seluas 45 hektare. Namun, sejak 1987, kawasan tersebut disulap menjadi kawasan elit oleh PT Danayasa Arthatama.
Setelah penyusunan masterplan selesai, pembangunan infrastruktur SCBD dimulai pada 1992-1993. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kala itu memberikan kepercayaan kepada PT Danayasa Arthatama untuk mengubah kawasan kumuh di jantung segitiga emas Jakarta ini menjadi kawasan elite dan modern.
PT Danayasa Arthatama merupakan perusahaan penyedia jasa dan investasi real estat bagian dari anak usaha Artha Graha Network di bawah pimpinan Tomy Winata. PT Danayasa Arthatama didirikan pada 1 April 1987 dan mulai mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia sejak 9 April 2002.
Ini bangunan pertama di SCBD
Lumrah kiranya jika bangunan perkantoran pertama yang berdiri di sana adalah gedung Artha Graha pada 1995. Sebab, di gedung tersebut PT Danayasa Arthatama memusatkan operasional perusahaan. Bangunan tersebut juga menjadi kantor Bank Artha Graha dan beberapa perusahaan lainnya. Memiliki 29 lantai, gedung ini dilengkapi beragam fasilitas seperti area ritel, food court, dan minimarket.
Bangunan lain yang cukup mencolok di kawasan ini adalah Gedung Bursa Efek Indonesia, yang rampung dibangun pada 1998. Pada tahun yang sama, Apartemen Kusuma Chandra juga selesai dibangun.