Jakarta, FORTUNE - Pemerintah saat ini sedang mematangkan rencana penunjukan marketplace sebagai agen pemungut pajak. Rencana penunjukan lokapasar atau e-commerce sebagai agen pemungut pajak ini merupakan implementasi dari Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, atau UU HPP.
UU HPP memuat tax withholding policy yang memungkinkan pemerintah untuk mengalihkan pemungutan pajak dari wajib pajak dengan cara menunjuk platform untuk menjadi pihak yang dapat memungut PPN atas barang yang dijual di marketplace. Dengan demikian, marketplace memotong PPH atas penghasilan penjual yang telah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Sejalan dengan hal ini, Ketua Umum Komunitas UMKM Naik Kelas Nasional, Raden Tedy menilai, penerapan pajak di e-commerce di Indonesia tidak bisa dipaksakan dan harus menunggu kesiapan industri marketplace hingga pelaku UMKM. Apalagi sektor keuangan dalam negeri masih dalam proses pemulihan.
"Saya rasa yang di Indonesia pemungutan pajak di e-commerce harus yang sudah siap dulu. Yang sudah siap tenaganya yang sudah besar e-commerce-nya dan pasti umkm juga harus siap," kata Raden kepada media di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia pun mencontohkan, e-commerce bentukan Komunitas UMKM Naik Kelas yakni INA Market merasa belum siap akan implementasi kebijakan tersebut. Apalagi, berdasarkan riset Komunitas UMKM Naik Kelas Nasional, sebanyak 42 persen UMKM masih dalam masa recovery.
Ini negara-negara yang telah terapkan skema tax withholding
Skema tax withholding ternyata telah diterapkan lebih dulu di beberapa negara dan menunjuk platform marketplace sebagai pemungut pajak atas transaksi yang terjadi di dalam platform, atau disebut sebagai marketplace facilitator tax. Negara-negara yang masih dan pernah menerapkan aturan ini antara lain Amerika Serikat sejak 2019, India sejak 2020 serta Vietnam pada 2021.
Sebagai contoh, beberapa platform e-commerce asing yang beroperasi dan berperan sebagai marketplace facilitator tax ialah Vietnam antara lain Lazada Vietnam hingga Shopee Vietnam.
Oleh karena itu, Raden menilai, platform e-commerce di Indonesia yang juga beroperasi di berbagai negara dinilai lebih siap dalam menjadi agen pemungut pajak karena telah memiliki pengalaman, kapasitas, dan infrastruktur yang lebih memadai dalam menangani pajak penggunanya.
Penerapan tax withholding di RI secara bertahap
Namun demikian, pihaknya berharap kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara bertahap antara lain melaui e-commerce asing terlebih dahulu. Sebab, penerimaan pajak di e-commerce cukup tinggi sejalan dengan transaksi yang semakin meningkat.
Pada akhirnya, apabila penunjukan platform yang sebelumnya telah menerapkan kebijakan agen pemungutan pajak di negara lainnya berjalan lancar, maka platform lokal asal Indonesia juga dapat mencontoh dan turut ditunjuk menjadi agen pemungut pajak.
Sampai saat ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak (DJP) masih menyusun aturan teknis yang berkaitan dengan kebijakan baru tersebut. Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung mengatakan, aturan teknis dan substansi dari aturan tersebut akan dimuat dalam Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) yang saat ini masih dalam proses pembahasan.
"RRPMK rencananya rampung pada semester pertama tahun ini,” ujar Bonarsius.
Di sisi lain, Guru Besar Ilmu Administrasi Perpajakan Universitas Indonesia (UI) Prof Haula Rosdiana mengatakan, skema withholding tax e-commerce harus dipikirkan secara seksama. Menurut Haula, diperlukan sosialisasi dan pelatihan kepada para UMKM agar lebih memahami aturan perpajakan.
"Mereka harus punya kapabilitas perpajakan, baru kebijakan itu diterapkan. Jadi menurut saya harus ada semacam program persiapan dulu sebelum ini dilaksanakan," kata Haula.
Sebab, berdasarkan penelitian DDTC Fiscal Research & Advisory tahun 2022 penunjukan marketplace selaku pemungut pajak dikhawatirkan dapat menurunkan tingkat partisipasi UMKM ke ekosistem digital sebesar 26 persen.