Jakarta, FORTUNE - Indonesia maju telah menjadi topik hangat yang kerap diperbincangkan di setiap pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai forum. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia bisa menjadi negara maju asallkan dapat memanfaatkan momentum bonus demografi yang akan terjadi di Tanah Air sampai 2039.
"Kita harus ingat 10-13 tahun ke depan adalah momentum yang sangat penting bagi Indonesia karena momentum untuk bonus demografi hanya sampai 2039," tutur Airlangga, di Jakarta, Senin (8/5).
Pada 2022 lalu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tak lagi memasukkan Indonesia sebagai negara berkembang. Artinya, Indonesia yang menurut AS kini berstatus negara maju, tak lagi mendapatkan perlakukan istimewa dalam perdagangan. Sayangnya, organisasi perdagangan di bawah PBB itu tidak memiliki definisi resmi untuk mengategorikan sebuah negara dikatakan sebagai negara maju atau sebaliknya sebagai negara berkembang.
Sementara itu, Investopedia menyebut Indonesia adalah negara berkembang dengan Produk Domestik Bruto atau PDB 2020 sebesar 1,06 triliun dollar AS (Rp 15,73 kuadriliun). Adapun PDB per kapita Indonesia pada 2020 adalah 3.869 dollar AS (Rp 57,43 juta) dengan populasi 273,52 juta penduduk.
HDI Indonesia pada 2019 adalah 0,718. HDI adalah pengukur untuk menilai tingkat pembangunan sosial dan ekonomi suatu negara. Kategori yang dinilai di HDI adalah usia harapan hidup, tingkat pendidikan, dan pendapatan. Skala HDI antara nol sampai satu. Semakin dekat ke angka satu, maka semakin maju negara tersebut.
Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir menilai gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN jadi ajang bagi Indonesia membuktikan bisa menjadi negara maju. Mengingat tujuan ASEAN Summit 2023 sendiri yang mendorong Asia Tenggara menjadi pusat perekonomian.
Erick Thohir menyampaikan salah satu upaya untuk mendorong Indonesia dan Negara ASEAN jadi negara maju adalah lewat rumusan kebijakan. Sama halnya dengan yang terjadi lewat gelaran Presidensi G20.
"Ya kembali saya rasa sama, konsisten dengan G20, bapak Jokowi mendorong jangan kebijakan globalisasi ini menguntungkan negara-negara maju saja. Yang akhirnya menekan daripada negara-negara berkembang, Indonesia juga ingin maju," ujarnya.
Ini penyebab RI sulit jadi negara maju
Salah satu syarat negara berkembang naik kelas menjadi negara maju adalah pertumbuhan ekonomi tahunannya harus mencapai 7 persen secara berturut-turut selama 15 tahun. Kenyataannya selama delapan tahun kepemimpinan Jokowi, Indonesia bahkan belum mencicipi pertumbuhan di atas 6 persen per tahun.
Indonesia pernah mencapai pertumbuhan sebesar itu pada masa Orde Baru, tapi durasinya tidak sampai 15 tahun. Ekonomi Indonesia memang sempat melambung ke level 7,08 persen (yoy) pada kuartal II-2021. Namun, lonjakan pertumbuhan lebih disebabkan oleh basis perhitungan yang sangat rendah pada kuartal II-2020 yakni kontraksi sebesar 5,32 persen (yoy).
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 bisa mencapai 5,31 persen (yoy). Titik tertinggi sejak 2013. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pertumbuhan ekonomi pada 2015-2022 mencapai 4 persen per kuartal. Pencapaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata per kuartal era awal reformasi pada 2000 hingga 2014 yakni 5,34 persen.
"Pertumbuhan ekonomi kita yang 5 persen-an masih baik, tapi tentu saja masih kalah dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand," jelas Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini.
Ekonom Senior & Menteri Keuangan Indonesia (2014-2016) Bambang Brodjonegoro mengingatkan, bahwa stagnasi pertumbuhan ekonomi 5 peren adalah ancaman bagi Indonesia yang memiliki cita-cita bisa menjadi negara maju pada 2045. Dia menambahkan biasanya stagnasi pertumbuhan ekonomi terjadi ketika negara itu sudah masuk jadi negara maju.
"Padahal kita belum jadi negara maju," ujarnya.
Ekonom Senior Faisal Basri mengungkapkan, akar masalah ini adalah industri manufaktur mengalami penurunan sangat drastis. Bahkan kondisi pertumbuhan sektor barang di Indonesia masih di bawah pertumbuhan ekonomi tahun ini yang mencapai 5,31 persen. Pertumbuhan tinggi justru didominasi oleh sektor jasa sepanjang tahun 2022.
"Bandingkan dengan China, Thailand, Korea, Korea saja negara maju industrinya masih kencang. Indonesia sudah jauh meninggalkan industri bahkan ini akan disusul oleh Vietnam," jelasnya.
Berdasarkan data yang ditunjukkan Faisal, pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia mengalami penurunan drastis sejak 2001. Saat itu, pertumbuhan manufaktur Indonesia mencapai 29,1 persen, namun sayangnya angka ini terus anjlok hingga 2022 yang hanya mencapai 18,3 persen saja.
Jika dibandingkan dengan negara lain, puncak pertumbuhan manufaktur mereka jauh lebih tinggi dari Indonesia, seperti China di level 40,1 persen, Malaysia dan Thailand 31 persen. Faisal menekankan, saat ini kondisi pertumbuhan manufaktur mereka masih tergolong tinggi dibandingkan Indonesia yang terus menurun.
"China industrinya bakal turun, tapi sudah mencapai industri yang paripurna baru turun, Malaysia 31 persen baru turun, Thailand 31 persen sudah turun, Indonesia belum 30 persen sudah turun," ujarnya.
Lebih lanjut, dia menilai dari 17 sektor penopang perekonomian Indonesia, seluruh sektor yang berada di atas PDB hanya sektor jasa, yakni sebesar 5,31 persen. Sedangkan sisanya sektor barang yang meliputi pertanian, industri manufaktur dan pertambangan berada di bawah itu.
Kondisi ini, kata Faisal, membuktikan bahwa Indonesia hanya jago di kandang saja dan produknya belum mampu bersaing di kancah internasional.
"Sektor jasa ini umumnya enggak bisa diekspor, misalnya sektor listrik, jasa pemerintahan, tidak bisa, dia jago kandang," katannya
Menurut Faisal, untuk mendongkrak perekonomian Indonesia, seharusnya sektor barang seperti pertanian, pertambangan, dan industri manufaktur yang didorong untuk tumbuh tinggi. Dia menilai sektor barang memiliki nilai kompetitif, membuka banyak lapangan kerja formal, dan bisa menggenjot ekspor Indonesia.
Namun sayangnya, nilai pertumbuhannya masih setengah dari pertumbuhan di sektor jasa. Fakta inilah yang menjadi alasan mengapa Indonesia gagal mencapai pertumbuhan 7 persen saat ini.