Jakarta, FORTUNE - Taliban bagai beroleh harta karun karena berhasil menguasai Afghanistan. Bagaimana tidak? Kekayaan mineral negara tersebut kini ada di genggaman mereka.
Menurut laporan ahli geologi dan pakar militer United States Geological Survey pada 2010, estimasi kekayaan mineral Afghanistan hampir mencapai US$1 triliun (sekitar Rp14,4 ribu triliun) berkat litium, kobalt, besi, tembaga, dan logam langka dalam jumlah besar.
Berikut ini nilai masing-masing sumber daya mineral di Afghanistan berdasar data tersebut:
- Besi: US$420,9 miliar
- Tembaga: US$274 miliar
- Niobium: US$81,2 miliar
- Kobalt: US$50,8 miliar
- Emas: US$25,8 miliar
- Molibdenum: US$23,9 miliar
- Lain-lain: US$33,2 miliar
Memasuki dekade baru, mayoritas sumber daya tersebut tidak tersentuh. Pasalnya, negeri yang dikenal sebagai Kuburan Kekaisaran itu masih harus terus menyaksikan kekerasan demi kekerasan. Kekayaan mineral Afghanistan terus menarik perhatian banyak negara di tahun-tahun berikutnya.
Untuk menengok potensi kekayaan mineral Afghanistan, simak informasi yang dikutip dari Deutsche Welle, Kamis (19/8) berikut ini.
1. Nilai Mineral Makin Meroket
Apalagi nilai mineral itu kian melonjak berkat transisi energi terbarukan. Berdasar laporan lanjutan pemerintah Afghanistan pada 2017, kekayaan mineral baru di Ibu Kota Kabul telah naik menjadi US$3 triliun (sekitar Rp43,3 ribu triliun).
Terlebih, ada pertumbuhan permintaan tahunan 20 persen untuk litium--bahan baterai ponsel pintar, laptop, dan mobil listrik. Beberapa tahun lalu pertumbuhannya hanya 5-6 persen.
Merujuk Memo Pentagon AS, potensi deposit Afghanistan pun dapat menyaingi Bolivia, salah satu sumber litium terbesar dunia.
Belum lagi, tembaga juga mencatatkan pertumbuhan 43% selama 2020. Perluasan kegiatan penambangan tembaga akan meningkatkan lebih dari seperempat kekayaan mineral Afghanistan di masa depan.
2. Tarik Minat Negara Adidaya
Ketika AS enggan kerja sama dengan Taliban, Rusia, Tiongkok, dan Pakistan justru siap bermitra dengan kelompok itu.
Tiongkok butuh komoditas demi memenuhi permintaan global terhadap barang-barang industrinya. “Kendali Taliban atas Afghanistan kembali saat ada krisis pasokan mineral di masa depan dan Tiongkok membutuhkan itu,” kata Michael Tanhcum dari Austrian Institute for European and Security Policy.
Ia menambahkan, Tiongkok sudah bersiap menambang pasokan mineral itu dari tanah Afghanistan. Bahkan, raksasa pertambangan Asia, Metallurgical Corporation of China (MCC) sudah teken kontrak 30 tahun untuk penambangan tembaga di Provinsi Logar.
Jika gayung bersambut, maka pertumbuhan ekonomi Afghanistan punya masa depan cerah.
3. Analis Ragukan Kemampuan Taliban
Meski ada sejumlah negara yang mengantre berbisnis dengan Taliban, beberapa analis justru ragu dengan kompetensi kelompok itu dalam mengeksploitasi mineral Afghanistan.
Direktur Senior di Counter Extremism Project, Hans-Jakob Schindler mengatakan, “sumber daya itu ada di dalam tanah tahun ‘90-an dan Taliban tidak pernah berhasil mengekstraknya. Kita harus tetap skeptis terhadap kemampuan mereka menumbuhkan ekonomi Afghanistan.”
Bertentangan dengan keraguan itu, Kepala Politik Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar, justru berharap Tiongkok akan berperan lebih besar dalam merekonstruksi ekonomi Afghanistan ke depannya.
Bahkan, Baradar telah menemui Penasihat Negara dan Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi di Tianjin pada pertengahan Juli lalu.
Kemudian, pada Senin (16/8), Tiongkok mengaku siap menjalin hubungan diplomatis dengan penguasa baru Afghanistan.