Kementerian ESDM Genjot Peningkatan Investasi Energi Bersih
Blended finance jadi salah satu solusi dari Kemenkeu.
Jakarta, FORTUNE – Pengembangan energi bersih diperkirakan membutuhkan investasi Rp30 triliun pada 2050. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong peningkatan investasi enerhi bersih, serta mengatur aspek pendanaannya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan transisi energi.
“Kita harus meningkatkan investasi energi bersih dan aliran keuangan melalui penguatan alur proyek, meningkatkan kerangka kebijakan dan peraturan, termasuk mekanisme pengurangan risiko, memperbaiki proyek berkualitas tinggi, bankable, dan merampingkan perjanjian,” kata Dadan seperti dikutip dari Antaranews, Selasa (28/6).
Kementerian ESDM bekerja aktif mengembangkan berbagai konsep pembiayaan untuk mempercepat transisi energi. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai fasilitas manajemen risiko pengembangan pengembangan proyek energi baru terbarukan dan kebijakan yang memungkinkan adanya skema pembiayaan inovatif.
Kolaborasi
Pemanfaatan energi bersih, kata Dadan, membutuhkan biaya besar, terutama untuk operasional, bahan bakar, dan pemeliharaan. Meski begitu, melalui kolaborasi dan pembuatan instrumen pembiayaan yang cukup, energi bersih dapat terwujud dan penerapan target emisi nol bersih bisa segera tercapai.
“Saya sangat yakun bahwa kita bisa berkolaborasi, bagian saya dalam Kementerian ESDM menyediakan proyek-proyeknya, sedangkan dari Kementerian Keuangan dalam hal pembiayaan,” ujar Dadan.
Pemerintah Indonesia memiliki target penurunan emisi gas rumah kaca sampai 31,89 persen terhadap business as usual pada tahun 20230 dan emisi nol karbon (Net Zero Emission/NZE) pada 2060.
Blended finance
Sebelumnya, Kementerian Keuangan menyatakan akan menggunakan blended finance untuk mendorong transisi menuju NZE. Program ini akan menggunakan struktur pembiayaan yang optimal dengan menggabungkan beberapa sumber pendanaan yang selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs).
Direktur Surat Utang Negara (SUN) Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Deni Ridwan, mengatakan bahwa mekanisme blended finance berbeda dengan mekanisme tradisional yang dibiayai hanya dari satu sumber, misalnya APBN. “Pemerintah perlu mengoptimalkan berbagai macam sumber pembiayaan, supaya tidak ada pembiayaan yang tak di-manage dengan baik,” katanya, Kamis (22/6).
Tiga platform
Menurut Ridwan, Indonesia kini punya tiga platform blended finance yang sedang berjalan. Pertama adalah SDG Indonesia One, platform keuangan campuran yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dalam pembiayaan program SDGs, dengan memanfaatkan sumber-sumber seperti donor internasional, lembaga keuangan iklim, investor hijau, dan lain sebagainya.
Kedua, adalah melalui Public Private Partnership (PPP) yang merupakan pengaturan antara pendanaan publik dan swasta untuk pembiayaan proyek infrastuktur tertentu. Sedangkan, ketiga, yakni sukuk atau green bonds, instrument pembiayaan inovatif untuk mendukung kebijakan fiskal ekspansif dan infrastruktur hijau di Indonesia.