Pemerintah Berencana Pensiunkan 22 PLTU Batu Bara
Langkah ini untuk mengakselerasi pemanfaatan EBT
Jakarta, FORTUNE – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan sebanyak 22 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang akan segera dipensiunkan.
Kepala Biro Perencanaan Kementerian ESDM, Chrisnawan Anditya, mengatakan bahwa pemerintah mengusulkan dana efisiensi program subsidi energi digunakan untuk membiayai upaya penghentian pembangkit listrik bertenaga fosil.
“Secara on table sudah kita lakukan exercise. Ada 22 PLTU berkapasitas 11 gigawatt sudah siap dimatikan lebih awal,” katanya seperti dikutip dari siaran YouTube Webinar The G20 Energy Communique and Leaders Declaration, pada Kamis (9/6).
Menurut Chrisnawan, pemerintah mematikan sejumlah PLTU untuk mengakselerasi penggunaan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) dan konsumsi listrik masyarakat tidak naik secara signifikan.
Pemerintah sudah memiliki rancangan pembangunan pembangkit listrik EBT berkapasitas 20,9 gigawatt, hingga 2030 mendatang. Namun, target ini berpotensi untuk jadi lebih besar lagi.
Biaya besar untuk penghentian PLTU
Menteri Keuangan, Sri Mulyani sebelumnya menyatakan untuk mematikan PLTU batu bara memang membutuhkan biaya yang cukup besar. Sebagai gambaran, untuk menyetop PLTU 5,5 gigawatt hingga 2030 bisa menghabiskan anggaran US$25-30 miliar. Biaya tersebut belum termasuk penggantian ke pembangkit listrik EBT.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, Pembangkit listrik Indonesia kini mencapai 73,74 gigawatt hingga November 2021. Dari besaran ini, PLTU masih jadi kontributor pembangkitan terbesar dengan 36,98 GW atau sekitar 50% dari total pembangkit listrik.
Pajak karbon diterapkan mulai awal Juli
Pada acara yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa penerapan pajak karbon akan dimulai pada awal Juli 2022. Untuk tahap awal, pengaturan ini akan berlaku bagi PLTU bertenaga batu bara.
“Dengan skema ini, pembangkit listrik batu bara dengan proses yang tidak efisien atau emisi yang lebih tinggi dari batas akan dikenakan biaya tambahan,” katanya.
Hingga kini, aturan teknis penerapan pajak karbon sendiri masih terus digodok. Rencananya, pajak karbon akan diimplementasikan dengan dua cara. Pertama, dengan skema perdagangan karbon (cap and trade), di mana para penghasil emisi lebih dari batas yang ditentukan, bisa membeli sertifikat izin emisi (SIE) atau sertifikat penurunan emisi (SPE).
Sedangkan, cara yang kedua adalah dengan pengenaan pajak karbon secara langsung kepada para penghasil emisi yang melebihi batas.
Untuk tarifnya sendiri, Indonesia akan menetapkan pajak karbon lebih tinggi atau sama dengan harga di pasaran. Tarif minimumnya diperkirakan mencapai Rp30 per kilogram CO2 atau Rp30.000 per ton CO2 ekuivalen.