Drone Serang Istana Kremlin, Rusia-Ukraina Saling Tuding
Insiden ini membuat konflik makin memanas.
Jakarta, FORTUNE – Konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina memasuki babak baru yang ditandai sengan serangan drone ke Istana Kremlin Rusia pada Rabu (3/5). Hal ini pun semakin memperkuat sikap Presiden Rusia, Valdimir Putin, untuk menggencarkan perang yang berlangsung.
Melansir Reuters, Jumat (5/5), hingga saat ini kedua pihak saling tuding. Pihak Rusia menganggap serangan drone dilakukan oleh Ukraina dengan menyasar Presiden Putin. Bahkan, insiden ini dibingkai Rusia sebagai aksi terorisme Ukraina yang disponsori negara-negara barat, seperti Amerika Serikat.
Ketua Majelis Rendah Parlemen Rusia, Vyacheslav Volodin, menyatakan kejadian ini membuat Ukraina seperti organisasi teroris. “Rezim Nazi Kyiv harus diakui sebagai organisasi teroris. (Itu) tidak kalah berbahaya dari Al Qaeda," kata Volodin dalam sebuah pernyataan. "Politisi di negara-negara Barat yang memompa senjata ke rezim Zelenskiy harus menyadari bahwa mereka tidak hanya menjadi sponsor, tetapi juga kaki tangan langsung aktivitas teroris.”
Dengan demikian, Rusia pun semakin memiliki alasan untuk menyerang balik Ukraina, dan menyingkirkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Meski begitu, Ukraina membantah sebagai dalang serangan tersebut dan berbalik menuding bahwa serangan drone yang terjadi adalah bagian dari operasi false flag atau serangan palsu yang dilakukan Rusia untuk bisa mencari alasan melakukan serangan balik ke Ukraina dan pihak barat.
Tudingan pada AS
Tudingan Rusia pun berlanjut ke pihak AS. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan bahwa negari Paman Sam berada di balik serangan tersebut, meski tidak didasari bukti kuat. "Keputusan untuk serangan semacam itu tidak dibuat di Kyiv, melainkan di Washington," kata Peskov seperti dikutip BBC, Jumat (5/5).
Klaim ini didasai pada berbagai upaya Ukraina untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara barat, seperti saat Zelensky meminta Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, membentuk pengadilan khusus untuk menuntut tanggung jawab Rusia atas agresi ke Ukraina.
Namun, tuduhan ini segera ditepis pihak AS. Juru bicara Keamanan Nasional AS, John Kirby, mengatakan, AS sama sekali tak terlibat dalam peristiwa serangan drone. “Kami bahkan tidak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi, tetapi saya dapat meyakinkan Anda bahwa AS tidak memainkan peran apapun," ujarnya.
Kemungkinan selanjutnya
Reuters melaporkan, kejadian ini memang bisa membuka jalan bagi otoritas Rusia untuk meningkatkan represi di dalam negerinya lebih jauh. Mengutip Sam Greene, salah satu penulis buku tentang Putin sekaligus profesor di King's College, Londong, Kremlin ditengarai akan menggandakan masalah terorisme dan menunjuk AS dan lainnya sebagai negara sponsor terorisme.
"Itu akan membuka jalan baru yang besar untuk menuntut setiap warga negara Rusia yang memiliki kontak dengan pemerintah Barat, dan dengan demikian akan menjadi kelanjutan logis dari kebijakan yang ada," kata Greene.
Selain itu, terdapat pula kemungkinan Putin memerintahkan gelombang baru mobilisasi militer untuk menyusun dan melatih lebih banyak tentara untuk perang. Yang jelas, investigasi atas insiden drone akan mengungkap kekurangan dalam pertahanan udara Rusia. Hal itu bisa menjadi pemicu pemecatan atau perombakan yang lebih luas, jika Putin menginginkannya.