Jakarta, FORTUNE – Permintaan energi dari Rusia sudah turun lebih dari 20 persen pada Agustus-November 2022. Hal itu diungkapkan, Ketua Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, dalam World Economic Forum 2023.
Ia mengatakan, Eropa telah mengatasi ketergantungan pasokan energi pada Rusia yang dinilai cukup memberatkan dalam situasi konflik Ukraina-Rusia.
"Eropa telah mengatasi ketergantungan yang berbahaya ini. Kami telah mengganti 80 persen gas pipa Rusia. Secara paralel, kami telah mengisi penyimpanan kami,” ujarnya seperti dikutip dari Anadolu Agency, Rabu (18/1).
Aksi ini, menurut von der Leyen merupakan bentuk dukungan bagi Ukraina atas berbagai serangan yang dilancarkan Rusia, sejak awal 2022. “Tidak akan ada impunitas atas kejahatan Rusia ini. Kami berada di dalamnya selama diperlukan,” katanya.
Ketergantungan
Von der Leyen mengakui bahwa negara Eropa masih bergantung pada bahan bakar fosil dari Rusia. Kondisi ini sudah berlangsung hingga beberapa dekade sehingga membuat Eropa rentan terhadap pasokan dan kenaikan harga, terutama saat terjadi konflik Ukraina-Rusia.
Kini, Eropa menurunkan harga gas lebih cepat karena upaya kolektif antarnegara. "Dari puncaknya pada bulan Agustus, saat itu €350 (sekitar Rp5,7 juta) per megawatt jam, sekarang turun 80 persen pada bulan ini, di bawah level sebelum perang Ukraina," ujarnya.
Energi bersih
Menurut von der Leyen, penurunan ketergantungan pada gas Rusia ini tak lepas dari upaya Uni eropa dalam mengembangkan energi bersih melalui ‘Undang-Undang Industri Nol Bersih’ yang akan mengidentifikasi teknologi bersih Eropa pada 2030. Regulasi ini akan berjalan beriring dengan ‘Undang-Undang Bahan Baku Kritis’.
"Kami ingin mencapai nol bersih dalam waktu kurang dari tiga dekade. Kami harus mencapai nol bersih, tetapi jalan menuju nol bersih berarti mengembangkan dan menggunakan berbagai teknologi bersih baru di seluruh ekonomi kita, dalam transportasi, bangunan, manufaktur, dalam energi,” katanya.
Kerja sama dengan AS
Von der Leyen mengungkapkan, upaya ini juga melibatkan kerja sama dengan negara adidaya Amerika Serikat (AS) senilai hampir €1 triliun (sekitar Rp16,3 ribu triliun), untuk mempercepat ekonomi energi bersih. “Tetapi bukan rahasia lagi bahwa elemen-elemen tertentu dari desain Undang-Undang Pengurangan Inflasi AS menimbulkan sejumlah kekhawatiran dalam hal beberapa insentif yang ditargetkan untuk perusahaan," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut von der Leyen, Uni Eropa terus mencari solusinya bersama dengan pihak AS, termasuk manfaat untuk pengembangan perusahaan mobil listrik buatan negara-negara di Uni Eropa. "Tujuan kami seharusnya untuk menghindari gangguan dalam Perdagangan dan Investasi Transatlantik," katanya.