KontraS: Warga Desa Wadas Bisa Menolak Pembangunan Tambang
Penolakan didasari prinsip free prior informed consent.
Jakarta, FORTUNE – Kisruh yang terjadi di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, antara aparat kepolisian dan warga desa menuai sorotan sejumlah pihak. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan tindakan represif aparat dalam konflik pertanahan tersebut.
Sebelumnya, ratusan warga desa Wadas terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian saat menolak rencana pembangunan tambang batuan andesit pembangunan Bendungan Bener. Sebanyak 64 warga desa ditahan dalam aksi tersebut.
Rozy Brilian, Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS, mengatakan masyarakat Desa Wadas jelas dapat menolak pembangunan tersebut. Secara internasional, tindakan itu sesuai dengan prinsip free prior informed consent. “Semuanya harus berdasarkan persetujuan yang mana harus didahului dengan informasi yang terbuka serta transparan,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Rabu (9/2).
Mengutip laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) atau FPIC merupakan proses untuk meminta persetujuan yang dilakukan tanpa paksaan yang didasari pada penyampaian informasi di awal, mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan dan kemungkinan dampakyang ditimbulkan serta manfaat yang akan diperoleh dari pelaksanaan sebuah program. PADIATAPA wajib dilakukan dalam rangka memperoleh persetujuan dari masyarakat lokal/adat.
Apalagi, warga desa Wadas menurutnya memiliki dasar hukum kuat, yakni sertifikat tanah sah. “Mereka juga bisa terus galang solidaritas, bangun koalisi masyarakat penolakan tambang, kampanye, baik dalam level nasional maupun internasional,” katanya.
Tidak ada pelanggaran hukum dalam rencana penambangan
Sementara itu, anggota Komnas HAM, Beka Ulung, mengatakan dari 617 warga Wadas yang tanahnya akan dijadikan lokasi penambangan andesit, 346 warga menyatakan setuju. Selain itu, tidak ada pelanggaran hukum dalam rencana penambangan tersebut.
“Warga yang menolak memang sempat mengajukan upaya hukum, mereka menggugat ke PTUN dan ditolak hakim. Warga juga melayangkan gugatan sampai tingkat kasasi dan juga ditolak. Artinya, karena PTUN dan kasasi sudah ditolak, berarti tidak ada proses yang dilanggar,” ujar Beka seperti dikutip Antara, Rabu (9/2).
Kekerasan aparat yang sangat disayangkan
KontraS sangat menyayangkan kekerasan yang dilakukan oleh apparat kepada sebagian warga yang menolak. Pihaknya menilai, aparat kepolisian menyikapi penolakan warga dengan intimidatif dan sewenang-wenang. Padahal, seharusnya konflik semacam ini seharusnya diselesaikan dengan mekanisme hukum.
Selain itu, pengukuran tanah yang menjadi pemicu terjadinya bentrokan, kata Rozy, semestinya tidak bisa dilakukan, karena ada sengketa dengan masyarakat yang harus diselesaikan hingga mencapai kata mufakat.
Terkait kericuhan yang terjadi, ia menilai pihak kepolisian seharusnya bertanggung jawab. “Karena mereka yg mengirimkan pasukan begitu banyak. Selain itu, tentu Gubernur Jawa Tengah yang kami anggap gagal berpihak pada masyarakat,” ucapnya.
Ganjar mendatangi warga Desa Wadas
Kericuhan yang terjadi sejak Selasa (8/2), mendorong Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo turun tangan menemui sejumlah warga Desa Wadas untuk menjelaskan duduk perkara rencana pembangunan waduk Bener. Pembangunan ini merupakan salah satu proyek strategis nasional pemerintah.
“Tidak usah saling menyakiti hati perasaan warga, diajak rembugan semuanya, nanti panjenengan (Anda) yang sudah mendapat ganti rugi, uangnya jangan dipakai sembarangan, (uang itu) untuk beli tanah atau rumah pengganti,” kata Ganjar seperti dilansir Antara, Rabu (9/20).
Ganjar juga meminta pihak kepolisian untuk membebaskan warga yang diamankan sejak hari sebelumnya. Selain itu, dirinya menyatakan masih membuka ruang diskusi dan dialog selebar-lebarnya kepada masyarakat yang masih menolak proyek pembangunan tersebut.