Danantara Gandeng Perusahaan AS Bangun Kilang Minyak

- Danantara akan membangun kilang minyak modular di Indonesia dengan perusahaan AS
- Penurunan tarif resiprokal dari 32 persen menjadi 19 persen antara Indonesia dan AS memungkinkan rencana ini
- Rencana pembelian produk energi, pertanian, dan pesawat produksi Amerika senilai miliaran dolar juga disepakati
Jakarta, FORTUNE - Daya Anagata Nusantara (Danantara) berencana membangun fasilitas kilang minyak (refinery) modular di Indonesia dengan menggandeng perusahaan asal Amerika Serikat. Hal ini merupakan kelanjutan dari penurunan tarif resiprokal dari 32 persen menjadi 19 persen yang telah disepakati dua negara.
CEO Danantara, Rosan Roeslani mengatakan kilang minyak ini menjadi penting dalam pengolahan minyak mentah (crude oil) asal AS yang diimpor ke Indonesia.
“Karena kita akan melakukan impor crude oil dari AS ke Indonesia, dan tentunya refinery-nya harus sesuai dengan karakteristik dan kemampuan pengolahan dari crude oil tersebut,” kata Rosan dalam konferensi pers, Selasa (29/7).
Menurut Rosan, selama ini Indonesia banyak mengimpor minyak mentah dari negara lain. Namun kini, Indonesia berencana mengalihkan negara asal penyuplai minyak, sehingga dibutuhkan kilang dengan spesifikasi khusus yang mampu mengolah crude oil asal Amerika.
Ia memastikan pembangunan kilang ini akan mematuhi seluruh regulasi yang berlaku di Indonesia.
Rosan mengatakan peningkatan volume impor minyak mentah dari negeri Paman Sam dinilai tidak akan membebani perekonomian nasional. Pasalnya, Indonesia tidak menambah impor minyak, melainkan hanya mengalihkan dari negara lain ke AS.
"Kalau dulu kita impor minyak mentah dari Arab Saudi, sekarang kami akan perbesar impor minyak mentah dari Amerika serikat," katanya.
Rosan menegaskan Danantara masih terus mengkaji rencana pembangunan kilang modular bersama AS itu.
Amerika Serikat dan Indonesia sepakat dalam pembelian pesawat produksi Amerika dengan nilai saat ini US$3,2 miliar. Kemudian, Indonesia juga harus membeli produk pertanian, termasuk kedelai, gandum, dan kapas AS dengan total nilai US$4,5 miliar.
Kemudian, pembelian produk energi, termasuk gas minyak cair (LPG), minyak mentah, dan bensin, dengan nilai perkiraan US$15 miliar.