Dekarbonisasi Aluminium Diklaim Mampu Lindungi Hilirisasi RI

- Dekarbonisasi alumunium dapat melindungi ekspor dan industri nasional dari hambatan dagang, seperti tarif karbon yang akan dikenakan oleh negara pengimpor besar.
- Indonesia memiliki cadangan bauksit besar, tetapi kontribusi dalam rantai nilai global masih kecil. Direkomendasikan strategi konservatif moderat untuk mengakses pasar premium.
- Pemerintah disarankan fokus pada teknologi terbukti secara teknis dan komersial, seperti pemanfaatan energi terbarukan, aluminium daur ulang, dan optimalisasi digital untuk menambah nilai dari sisi lingkungan.
Jakarta, FORTUNE - Di tengah tekanan global terhadap emisi karbon dan meningkatnya risiko hambatan dagang, strategi dekarbonisasi alumunium diklaim mampu menjaga keberlanjutan ekspor dan industrialisasi nasional.
Dalam laporan terbaru dari lembaga riset Transisi Bersih bertajuk "Strategi Dekarbonisasi Hilirisasi Aluminium” menjelaskan ancaman nyata datang dari kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa yang akan berlaku penuh pada 2026.
Aluminium disebut menjadi salah satu sektor prioritas yang akan dikenakan tarif karbon, terutama oleh negara pengimpor besar seperti Jerman dan Prancis. Produk aluminium yang dihasilkan dengan energi fosil, khususnya batu bara, akan menghadapi hambatan dagang yang semakin besar.
Indonesia saat ini tercatat memiliki cadangan bauksit sekitar 2,8 miliar ton atau sekitar 10 persen dari total cadangan dunia, menempatkannya dalam empat besar global. Dari sisi produksi, Indonesia juga menempati posisi lima besar dunia dengan 32 juta ton bijih bauksit pada 2024.
Namun memang kontribusi dalam rantai nilai global masih tergolong kecil atau hanya menyumbang 0,92 persen produksi alumina dan 0,38 persen aluminium primer dunia.
Tangkis Ancaman CBAM dan Penurunan Ekspor dengan Dekarbonisasi
Direktur Lembaga Transisi Bersih, Abdurrahman Arum mengatakan bahwa Indonesia memerlukan strategi dikarbonisasi yang tepat agar bisa beradaptasi dengan tren pasar aluminium global. Jika dilakukan dengan cermat, hal ini dapat membuka peluang masuk ke pasar premium dunia dan memperkuat hilirisasi dalam negeri.
"Tanpa strategi yang tepat, dikarbonisasi bisa menaikkan biaya produksi dan mengurangi daya saing industri aluminium. Sementara, jika kita tidak melakukan dikarbonisasi, maka kita akan ketinggalan," ujarnya melalui siaran pers, Kamis (24/7).
Menurutnya, Indonesia bukanlah pasar aluminium sehingga tidak punya kekuatan untuk mengatur harga global. Namun, permintaan aluminium global sangat tidak elastis terhadap harga (elastisitas hanya -0,25 hingga -0,3).
Sehingga, apabila terjadi kenaikan biaya karena dekarbonisasi, tidak serta-merta menurunkan permintaan. Dengan kata lain, peluang pasar masih terbuka meski biaya naik, asal kualitas dan standar global terpenuhi.
Dengan posisi saat ini, laporan tersebut merekomendasikan strategi konservatif moderat yang mengikuti standar negara dominan seperti Cina, dengan tetap menaikkan standar secara bertahap untuk mengakses pasar premium seperti Uni Eropa.
Selain itu, Abdurrahman menyarankan agar pemerintah fokus terhadap teknologi yang sudah terbukti secara teknis dan komersial, seperti: pemanfaatan energi terbarukan dari PLTA, PLTS, atau dari grid (seperti model EGA di UEA).
Penggunaan inert anode juga bisa dilakukan untuk menggantikan anoda karbon, dengan potensi penurunan emisi hingga 15 persen dan efisiensi energi hingga 30 persen. Penggunaan aluminium daur ulang juga disarankan, sebab hanya membutuhkan 5 persen energi dibanding aluminium primer. Optimalisasi digital dan predictive maintenance juga perlu dilakukan untuk menurunkan downtime hingga 30 persen dan biaya pemeliharaan 20 persen.
Lembaga ini menyoroti pemerintah Indonesia yang telah menghentikan ekspor bauksit sejak 2023 sehingga mendorong pembangunan fasilitas refining dan smelting di dalam negeri. Namun, kata Abdurrahman, hilirisasi semata tidak cukup jika produksinya masih bergantung pada batu bara.
“Saat ini kita sedang menambah nilai dari sisi industri. Tapi pasar global juga menuntut nilai dari sisi lingkungan. Tanpa ‘green value’, produk Indonesia akan kesulitan masuk pasar premium,” jelas Abdurrahman Arum.
CBAM, regulasi baterai Uni Eropa, dan standar ESG global telah membuat karbon menjadi komponen harga. Abdurrahman pun kembali menegaskan tanpa penyesuaian, aluminium Indonesia bisa terjebak di pasar murah, sementara negara lain menuai premium karena jejak karbon yang rendah.