Efisiensi Anggaran Pemerintah Buat Bisnis Hotel Jakarta dan Bali Lesu

Jakarta, FORTUNE - Industri perhotelan di Jakarta dan Bali menghadapi tekanan besar sepanjang triwulan I 2025 akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Kebijakan ini berdampak langsung pada penurunan permintaan kamar dari sektor pemerintahan, yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung bisnis hotel, khususnya di Jakarta.
Kebijakan tersebut mencakup pembatasan perjalanan dinas, studi banding, seminar, dan forum diskusi, yang berimbas pada sepinya okupansi hotel, terutama yang selama ini bergantung pada pasar MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition).
“Sebagai dampak dari kebijakan efisiensi ini, para pelaku industri perhotelan juga harus efisien, menyesuaikan diri dengan kondisi pasar,” kata Ferry Salanto, Head of Research Colliers Indonesia, dalam keterangannya, Jumat (4/7).
Terkait hal itu, sejumlah pengelola hotel di Jakarta telah melakukan langkah-langkah efisiensi untuk menekan biaya operasional, seperti mengurangi jam kerja karyawan harian, hingga meminta staf mengambil cuti atau cuti tanpa dibayar. Bahkan, Colliers memprediksi jika tren ini berlanjut, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) akan meningkat, dan beberapa hotel bisa saja tutup permanen, mengulang situasi sulit seperti pada masa pandemi Covid-19.
Meski beberapa hotel mencoba bertahan dengan menawarkan inovasi seperti paket buka puasa selama bulan Ramadan, namun pendapatan dari sektor makanan dan minuman (F&B) umumnya tidak cukup menutupi penurunan pendapatan utama dari pemesanan kamar. Meskipun ada peningkatan pendapatan dari sektor F&B, kontribusinya jarang mampu mengimbangi penurunan okupansi kamar selama bulan Ramadan.
Bali tak luput dari dampak. Apakah ada harapan pulih?
Kondisi serupa juga terjadi di Bali. Kebijakan efisiensi ini turut berdampak pada hotel-hotel yang mengandalkan kegiatan MICE berskala internasional. Selain itu, tingginya harga tiket pesawat domestik dibandingkan tiket internasional turut menggerus minat wisatawan lokal untuk berlibur ke Bali.
“Kinerja hotel di Bali juga diperkirakan akan membaik pada kuartal kedua. Namun, kebijakan efisiensi dan menurunnya daya beli masyarakat perlu menjadi perhatian,” kata Ferry.
Meski triwulan pertama dinilai sebagai periode paling lambat, terutama karena bulan Ramadhan dan banyaknya hari libur nasional di April–Mei, kinerja hotel diperkirakan akan mulai membaik pada pertengahan Juni. Namun, hal ini bergantung pada respons pasar dan keberhasilan pelaku industri dalam mencari pasar alternatif di luar sektor pemerintahan.
Tanpa adanya pelonggaran kebijakan efisiensi atau lonjakan wisatawan dari pasar baru, peningkatan pada kuartal kedua kemungkinan tidak akan signifikan. Ini menjadi tantangan jangka pendek yang berat bagi industri perhotelan, khususnya di dua destinasi utama Indonesia, yakni Jakarta dan Bali.
Pemerintah pun diminta mengevaluasi kebijakan efisiensi yang berimplikasi luas terhadap sektor pariwisata dan perhotelan. Tanpa intervensi kebijakan atau stimulus sektor riil, pelaku industri harus segera beradaptasi atau menghadapi risiko penurunan pendapatan lebih lanjut.