Indonesia Butuh Dana US$1 Triliun untuk Percepatan Transisi Energi
Indonesia bakal mengembangkan pembangkit listrik EBT.
Jakarta, FORTUNE - Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana, mengatakan Presidensi G20 Indonesia telah menetapkan tiga prioritas transisi energi, yaitu aksesibilitas energi, penggunaan teknologi energi bersih, serta pendaaan. Sampai dengan 2060, Indonesia diperkirakan membutuhkan dana investasi US$1 triliun untuk mempercepat transisi menuju energi bersih.
“Untuk pembangkit energi terbarukan senilai US$995 miliar, dan transmisi sebesar US$114 miliar. Kebutuhan akan dukungan finansial akan semakin meningkat seiring kita menerapkan pensiun dini PLTU batu bara di tahun-tahun mendatang," kata Rida dalam keterangannya, Jumat (14/10).
Rida mengatakan Indonesia akan mengembangkan pembangkit listrik 700 Giga Watt (GW) energi terbarukan yang berasal dari tenaga matahari, hidro, angin, bioenergi, laut, panas bumi, hidrogen, dan nuklir. Terdapat pula strategi penghentian PLTU batu bara secara bertahap, yang secara final akan terjadi pada 2058.
Selain itu, Indonesia juga berencana membangun Super Grid untuk menjaga sistem kelistrikan, dan membuka peluang untuk mengekspor listrik ke negara ASEAN yang terhubung dengan ASEAN Power Grid.
Berikan skema menarik untuk transisi energi
Skema pendanaan transisi energi hijau, kata Rida, dapat diperoleh dari, antara lain, blended finance, United Indonesia SDGs, tropical landscape fasilitas keuangan, investasi anggaran non-pemerintah serta pemerintah dan swasta kemitraan.
Namun, pemerintah masih harus meningkatkan mobilisasi semua sumber keuangan dan memperkuat kolaborasi di antara semua pemangku kepentingan untuk memastikan semua potensi dimanfaatkan.
Guna menarik itu semua, pemerintah akan menetapkan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Listrik. Nanti, ini memungkinkan harga yang kompetitif untuk energi terbarukan melalui transparansi dengan mekanisme pengadaan dan pemberian dukungan dari kementerian terkait.
Selain itu, pemerintah juga akan memberikan insentif seperti tax allowance, fasilitas bea masuk, dan tax holiday. "Hal ini untuk memberikan investasi energi terbarukan yang lebih baik dan kondusif,” ujar Rida.
Komitmen negara anggota G20
Forum Energy Transition Ministerial Meeting (ETMM) juga telah menghasilkan beberapa komitmen seperti peningkatan penggunaan energi bersih, promosi investasi penggunaan energi bersih, rendah karbon, dan penggunaan teknologi yang berkelanjutan serta meningkatkan investasi inklusif.
“Pada September 2022 lalu, negara-negara G20 mendukung kesepakatan Bali Compact yang terdiri dari sembilan prinsip untuk mempercepat transisi energi yang bersih, berkelanjutan, adil, terjangkau, dan inklusif untuk memastikan transisi yang lancar dan efektif sesuai dengan prioritas nasional," jelas Rida.
Negara G20, kata Rida, juga telah berkomitmen dalam implementasi Paris Agreement untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) atau netralitas karbon pada 2030. Pada tahun tersebut, sektor energi diharapkan memberikan kontribusi pengurangan emisi sekitar 358-446 juta ton setara CO2.
“Pada tahun 2021, Indonesia berhasil mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor energi sebesar 70 juta ton CO2, terutama melalui pengembangan energi baru dan terbarukan, penerapan efisiensi energi, pemanfaatan bahan bakar rendah karbon, dan reklamasi pascatambang," kata Rida.
Dalam jangka panjang, Indonesia menargetkan akan mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat. Upaya yang dilakukan dari sisi penawaran melalui pengembangan energi baru terbarukan secara masif, mengurangi penggunaan energi fosil dengan mengubah energi primer dari bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan, penghentian bertahap pembangkit listrik tenaga fosil, serta pemanfaatan teknologi rendah emisi
Di sisi permintaan, melalui pemanfaatan kompor listrik, baterai kendaraan listrik (BEV), biofuel, gas kota, penerapan manajemen energi serta penerapan standar kinerja energi minimum.