Ini Kata Akademisi Soal Kabar Deindustrialisasi Dini Indonesia
Ada tiga aspek yang perlu dicermati.
Jakarta, FORTUNE – Indonesia dikabarkan sedang mengalami deindustrialisasi dini.
Rektor Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Prof. Dr. Rina Indiastuti, mengatakan terdapat tiga hal yang dapat dicermati jika ingin melihat ada atau tidaknya deindustrialisasi.
Pertama, harus dilihat apakah terjadi penurunan pertumbuhan pendapatan per kapita, yang merupakan gejala perburukan kinerja ekonomi makro.
Kedua, apakah terdapat penurunan kontribusi manufaktur terhadap perekonomian.
Dan terakhir, apakah terjadi perubahan struktur ekonomi dan sosial yang besar.
Bila berkaca pada perekonomian Indonesia saat ini yang masih tumbuh, serta absennya perubahan struktur ekonomi dan sosial yang besar, Rina percaya deindustrialisasi belum terjadi.
Penurunan kontribusi manufaktur yang terjadi saat ini hanya bersifat sementara, katanya. Sebab, pada 2025 dan 2045 sumbangan manufaktur Tanah Air terhadap perekonomian bisa mencapai 18,7 persen dan 28 persen.
"Tidak tepat bila dikatakan Indonesia mengalami deindustrialisasi, apalagi prospek pertumbuhan ke depan masih sangat besar, " ujar Rina dalam sebuah diskusi daring, Senin (7/8).
Mengeksplorasi cabang-cabang industri manufaktur
Dia memaparkan sejumlah strategi untuk mendongkrak pertumbuhan industri manufaktur. Satu di antaranya adalah mulai mengeksplorasi cabang-cabang industri.
Selama ini Indonesia, menurutnya, masih berfokus pada industri subsektor lama yang perhatiannya adalah sumber daya alam (SDA). Indonesia harus mulai bisa mengeksplorasi sektor-sektor industri baru yang sanggup mendorong industri manufaktur lain sehingga saling terkait.
"Kita masih bermain lama di industri karet dan kertas. Kita juga kuat di elektronik dan transportasi [otomotif]. Itu basisnya teknologi dan ekspor. Tetapi, kita masih mengandalkan industri yang dari dulu berperan, padahal cabang industri manufaktur begitu banyak. Barangkali mari kita mulai menyiapkan cabang-cabang lain," katanya.
Industri yang telah tumbuh dengan baik, katanya, perlu dorongan untuk bisa meningkatkan ekspor dan melakukan penetrasi lebih intens ke pasar domestik.
Selain itu, pemangku kepentingan terkait, mulai dari pemerintah hingga perguruan tinggi, harus mulai memikirkan untuk memilih dan mengadopsi teknologi yang tidak hanya memberi nilai tambah tinggi, tapi juga sesuai dengan kebutuhan dan tren industri saat ini, termasuk tren industri hijau.
"Penelitian di kami menyatakan kalau ekspor industri manufaktur ingin tidak decline, yang penting bukan hanya masalah global value chain, tapi juga faktor kelembagaan. Jadi, bagaimana sinergi antarsektor membuahkan biaya yang rendah bagi industri," ujar Rina.
Perlu mengembangkan industri dan mencontoh negara lain
Sebelumnya, Deputi Bappenas Bidang Ekonomi, Amalia Adininggar, mengatakan Indonesia saat ini tengah mengalami deindustrialisasi dini. Pasalnya, porsi manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi terus turun dan sekarang bersisa 18,3 persen.
Dia mengatakan Indonesia telah terlalu lama menjadi kelompok negara berpendapatan menengah. "Ini yang kita sebut deindustrialisasi dini," ujarnya (27/7).
Amalia menyebut Indonesia bisa belajar dari Korea Selatan karena negeri tersebut telah menjadi negara maju berkat kemampuannya membangun industri yang maju.
Dulu Korea Selatan terkenal dengan fesyen, tekstil, alas kaki, dan aksesoris, tapi sekarang juga kesohor dengan perusahaan-perusahaan mentereng seperti LG, Hyundai, hingga Samsung.
"Siapa yang enggak tahu Samsung? HP-nya kebanyakan pakai Samsung. Siapa yang tidak kenal LG? Dan siapa yang tidak kenal Hyundai dengan [kendaraan listriknya]," kata Amalia.