Petani Sawit Minta Pembebasan Tarif Ekspor CPO Diperpanjang
Pemerintah akan berlakukan biaya ekspor CPO akhir Agustus.
Jakarta, FORTUNE - Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, mengatakan wajar bagi pemerintah untuk tidak memberlakukan dahulu pungutan ekspor produk kelapa sawit dalam waktu dekat. Bahkan, diharapkan terjadi perpanjangan kembali relaksasi penghapusan tarif ekspor CPO yang akan berakhir pada 31 Agustus mendatang.
"Saya berpendapat supaya pungutan ekspor ini sementara dikesampingkan dulu sampai harga TBS petani di atas Rp3.000 per kilogram," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (23/8).
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Riau periode 24-30 Agustus, harga TBS sawit umur 3 tahun Rp1.792,58 per kilogram; sawit umur 4 tahun Rp 1.943,80 per kilogram; sawit umur 5 tahun Rp2.126,65 per kilogram; sawit umur 6 tahun Rp2.178,07 per kilogram; sawit umur 7 tahun Rp2.263,15 per kilogram; sawit umur 8 tahun Rp2.325,95 per kilogram.
Kebijakan relaksasi pembebasan tarif ekspor CPO itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 Tahun 2022 yang menyebut tarif pajak pungutan ekspor pada seluruh produk dari tandan buah segar (TBS), kelapa sawit, produk sawit, bungkil, palm oil, used cooking oil, dan crude palm oil menjadi Rp0 per metrik ton.
Jika tidak diperpanjang, pemerintah akan memberlakukan tarif ekspor progresif bagi CPO dan produk turunannya atau menyesuaikannya dengan harga di pasar global.
Relaksasi, kata Gulat, dilakukan pemerintah agar ekspor minyak sawit kembali bergairah. Harapannya, tangki-tangki penyimpanan yang dimiliki pabrik pengolahan CPO bisa kosong setelah ekspor.
Dengan demikian, ada ruang yang cukup bagi pabrik untuk kembali menyerap tandan buah segar (TBS) sawit petani dengan harga yang lebih baik.
Dampak sisa masa relaksasi yang yang dua pekan lagi, kata dia, belum bisa dirasakan karena masa penerapannya yang dinilai terlalu singkat. Menurutnya, butuh waktu lebih panjang agar satu kebijakan bisa memberikan dampak yang bisa dirasakan oleh masyarakat maupun pelaku usaha.
Perlu evaluasi kebijakan
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai kebijakan pungutan sawit tampaknya perlu dievaluasi. Pasalnya, salah satu akar masalah terkait pungutan sawit adalah pemanfaatannya yang tidak tepat sasaran.
"Sama sekali tidak tepat sasaran dengan kita melihat dana pengelolaan dari kelapa sawit banyak yang kembali pada produsen pengolah dana sawit sekaligus eksportir kelapa sawit. Bahkan ada perusahaan yang untung dari subsidi biodiesel kelapa sawit," kata Nailul.
Berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 258K/10/DJE/thn 2016 Tentang Penetapan Badan Usaha BBN dan alokasi besaran volumenya untuk pengadaan BBN jenis biodiesel di PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo, alokasi dana sawit untuk kepentingan biodiesel hanya dirasakan oleh segelintir perusahaan saja yang dipilih lewat skema penunjukan langsung.
Di sisi lain, pemanfaatan dana sawit untuk pengadaan biodiesel juga dinilai tak sejalan dengan semangat pengembangan industri sawit sebagai tujuan awal diterapkannya dana pungutan ekspor sawit ini.
"Pemanfaatan saat ini lebih banyak digunakan untuk subsidi program biodiesel. Padahal ada sasaran lainnya seperti peningkatan SDM petani, peremajaan sawit, dan lainnya, yang porsinya sangat kecil sekali. Belum lagi untuk porsi lainnya. Jadi alokasi saat ini sangat timpang sekali. Kacau balau," katanya.