Warga Palestina Tolak Keras Usulan Trump Ingin "Bersihkan" Gaza
Usulan itu timbulkan kekhawatiran akan pembersihan etnis.
Fortune Recap
- Usulan Trump untuk mengusir warga Palestina dari Gaza menuai kecaman keras
- Proposal tersebut ditolak mentah-mentah oleh warga Palestina dan otoritas Palestina
- Warga Gaza bersikeras akan tetap bertahan di wilayah pesisir tersebut meskipun penderitaan yang mereka alami
Warga Palestina mengutuk keras usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang bertujuan agar mereka diusir dari Jalur Gaza dan dikirim ke Mesir dan Yordania. Usulan tersebut dinilai menimbulkan kekhawatiran akan adanya pembersihan etnis.
Dilansir Al Jazeera, Senin (27/1) sebelumnya, pada Sabtu (25/1) Trump mengatakan kepada wartawan bahwa sudah waktunya untuk “membersihkan” Jalur Gaza yang terkepung dan mendesak para pemimpin Yordania dan Mesir untuk menerima warga Palestina dari Gaza, baik untuk sementara ataupun permanen.
Keesokan harinya, Minggu (26/1) rencana tersebut langsung ditolak mentah-mentah oleh para warga Palestina. Otoritas Palestina (Palestinian Authority/PA) yang bermarkas di Ramallah, Tepi Barat mengatakan proposal itu melanggar “garis merah”, ketika warga Gaza bersikeras bahwa mereka bakal tetap berada di wilayah pesisir tersebut.
“Tak mungkin bagi orang untuk menerima hal ini,” kata warga Palestina Nafiz Halawa kepada Al Jazeera dari Nuseirat di Gaza tengah.
“Yang lemah mungkin akan meninggalkan negaranya karena penderitaan yang mereka alami, tapi gagasan untuk meninggalkan negara kita itu benar-benar mustahil,” dia menambahkan.
Warga Gaza lainnya, Elham Al-Shabli pun menolak gagasan tersebut. “Jika kami ingin pergi, kami telah melakukannya sejak lama. Perang genosida yang mereka lakukan tidak bakal menghasilkan apa-apa terhadap Palestina dan kami akan tetap bertahan apapun yang terjadi,” ungkap dia.
Otoritas Palestina: Rencana Trump adalah pelanggaran terhadap “garis merah”
Kemudian dalam sebuah pernyataan, Otoritas Palestina menyebut rencana Trump itu merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap “garis merah” yang sudah mereka peringatkan secara konsisten.
“Kami menekankan bahwa rakyat Palestina tidak akan pernah meninggalkan tanah atau tempat suci mereka, dan kami tidak akan membiarkan terulangnya bencana (Nakba) tahun 1948 dan 1967. Rakyat kami akan tetap tabah dan tidak akan meninggalkan Tanah Air mereka,” kata Otoritas Palestina.
Selain itu, mereka mendesak Trump untuk mempertahankan perjanjian gencatan senjata di Gaza, memastikan penarikan penuh pasukan Israel, menetapkan Otoritas Palestina sebagai badan pemerintahan di wilayah tersebut, dan memajukan upaya menuju pembentukan negara Palestina yang berdaulat.
Senada dengan Otoritas Palestina, kelompok Palestina yang menguasai Gaza, Hamas mengatakan bahwa Pemerintah AS harus meninggalkan proposal yang sejalan dengan skema Israel dan bertentangan dengan hak-hak rakyat Palestina. Di mana telah menentang tindakan genosida paling keji dan pengungsian sejak Israel melancarkan perangnya di Gaza pada Oktober 2023.
Adapun kelompok militan yang telah berjuang bersama Hamas di Gaza selama lebih dari 15 bulan, Jihad Islam Palestina (The Palestinian Islamic Jihad/PIJ), menyebut pernyataan Trump merupakan dorongan kejahatan perang.
Yordania dan Mesir tolak usulan Trump
Pernyataan Trump juga tampaknya menarik perhatian dari Senator Senior AS Partai Republik, Lindsey Graham yang mengatakan dalam sebuah wawancara dengan CNN bahwa dia tidak menganggap gagasan tersebut terlalu praktis dan percaya bahwa negara-negara Arab di kawasan bakal menolaknya.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi mengatakan bahwa prinsip-prinsip pihaknya tetap jelas dan mendukung warga Palestina untuk tetap tinggal di tanah mereka adalah posisi nasional yang tegas dan tidak berubah. Dia menambahkan, penolakan Yordania terhadap usulan Trump merupakan hal yang tegas dan penting untuk mencapai stabilitas serta perdamaian yang diinginkan semua orang.
Dia pun menegaskan kembali bahwa penyelesaian masalah Palestina berada di tangan Palestina.
“Yordania adalah untuk rakyat Yordania, dan Palestina adalah untuk rakyat Palestina,” kata Ayman dalam pernyataan persnya, Minggu (26/1) dikutip dari Middle East Monitor.
Lanjut dia, mengikuti arahan kerajaan, Yordania bakal melanjutkan upayanya untuk memberikan bantuan sebanyak mungkin ke Gaza. Ayman pun menegaskan terdapat cita-cita Yordania untuk bekerja sama dengan Pemerintah AS untuk mencapai perdamaian di kawasan tersebut.
Selain Yordania, Mesir juga menolak seruan Trump untuk memukimkan kembali warga Palestina di luar wilayah mereka.
“Dukungan berkelanjutan Mesir terhadap ketahanan rakyat Palestina di Tanah Air mereka dan komitmen mereka terhadap hak-hak sah mereka di Tanah Air mereka, sesuai dengan hukum internasional dan hukum kemanusiaan internasional,” tegas Kementerian Luar Negeri Mesir dalam sebuah pernyataannya, dikutip Anadolu, Senin (27/1).
Kemudian, pernyataan Trump juga dianggap Mesir sebagai ancaman terhadap stabilitas, peringatan akan meluasnya konflik regional, dan penghalang terhadap peluang perdamaian serta hidup berdampingan di antara masyarakat di kawasan.
Mesir mendesak komunitas internasional untuk mengupayakan implementasi nyata dari solusi dua negara, meliputi pembentukan negara Palestina di seluruh wilayah nasionalnya dalam konteks persatuan Gaza dan Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur. Hal itu sesuai dengan resolusi legitimasi internasional dan perbatasan tanggal 4 Juni 1967 silam.
“Mesir tidak dapat menjadi bagian dari solusi apa pun yang melibatkan pemindahan warga Palestina ke Sinai,” kata Kedutaan Besar (Kedubes) Mesir di Washington, mengutip opini yang diterbitkan oleh Duta Besar Mesir untuk AS Motaz Zahran di situs AS The Hill pada Oktober 2023 lalu.
Israel cegah pengungsi Palestina kembali ke Gaza Utara
Untuk diketahui, pernyataan Trump soal rencana pemindahan paksa warga Palestina itu muncul sepekan sesudah mulai berlakunya perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Gaza, dengan dua putaran pertukaran tawanan telah usai. Namun, ribuan warga Palestina menunggu di penghalang jalan pada Minggu (26/1) untuk kembali ke rumah mereka masing-masing di Gaza utara.
Hal itu terjadi karena Israel menolak membuka titik persimpangan setelah menuduh Hamas melanggar perjanjian gencatan senjata. Israel menyebut akan membuka titik penyeberangan setelah PIJ membebaskan sandera warga sipil Israel bernama Arbel Yehud. Menurut Israel, berdasarkan perjanjian gencatan senjata, tawanan sipil harus dibebaskan sebelum tentara.
Di sisi lain, PIJ mengatakan kepada Al Jazeera pada Minggu (26/1) bahwa Yehud bakal dibebaskan sebelum Sabtu (1/2) dengan imbalan 30 sandera Palestina dari Israel. Wakil Sekretaris Jenderal PIJ Mohammed Al-Hindi juga mengatakan kelompoknya menunggu tanggapan praktis dari para mediator soal bagaimana warga Palestina bakal diizinkan kembali ke rumah mereka di Gaza Utara.
Hani Mahmoud dari Al Jazeera, melaporkan dari titik persimpangan di Jalan Al-Rasheed di Gaza dengan mengatakan bahwa tak ada tenda untuk menyediakan perlindungan bagi para pengungsi Palestina. “Tidak ada tempat bagi mereka di sini, tidak ada tenda,” ungkap dia.
“Kebanyakan orang tinggal di sini karena mereka membongkar tendanya, mereka mengira setelah empat tawanan Israel dibebaskan, mereka akan bisa menyeberang ke bagian utara Jalur Gaza, sesuai kesepakatan. Tapi sepertinya mereka harus tidur di sini lagi malam ini,” tutur Mahmoud.